Kutinggalkan makam ibu dengan air mata yang sulit ditahan untuk tidak bertumpah. Demikian cepat waktu berjalan. Tahu-tahu ibuku sudah berpulang. Kini, aku berstatus sebagai yatim piatu kendati sudah dianggap dewasa karena sudah lewat tujuh belas tahun. Akan tetapi, aku selalu membutuhkan kedua orang tuaku.
Sejak kecil kami tak pernah berpisah, bahkan saat kuliah pun aku lebih memilih berangkat pagi-pagi dari rumah dengan risiko seolah seharian berada di kampus. Apalagi jika masih harus belajar kelompok. Aku dapat dipastikan tiba di rumah dengan tubuh lungkrah hampir pukul 23 malam. Hanya senyum ibu yang segera menyediakan makan malam hangat, membuatku bertahan seolah semua lelahku hilang.
Kini ibu tiada lagi, menyusul ayah yang berpulang tiga tahun lalu, setelah aku lulus S1. Aku masih berjalan gontai keluar makam menuju motor yang kuparkir dekat rumah juru kunci. Angin sore menjelang magrib mulai mencubiti kulitku. Suasana terasakan sepi mencekam, membuatku bergegas keluar makam, mengambil motor, lalu ngebut untuk pulang.
Sebelum memasuki rumah, seperti adat kebiasaan nenek moyang jika pulang dari kuburan, kami selalu diwajibkan mencuci kaki dan tangan. Selain tradisi wajib cuci kaki dan tangan sebelum memasuki rumah jika pulang dari kuburan, kami pun diwajibkan cuci kaki dan tangan jika di rumah ada bayi.
Tradisi yang kembali berulang, bahkan masih harus mencuci tangan dengan sabun, ketika covid-19 menyerbu muka bumi. Sedemikian cepat persebaran mereka, seisi bumi pun dihinggapinya. Seolah serbuk-serbuk dari karat besi yang digosok. Debunya mengerikan semua orang yang lewat. Semua cemas serbuk karat besi tersebut memasuki mata dan hidung, menggelitiki tenggorokan, mengacak-acak paru-paru kemudian menyesakkan pernapasan.
"Apa?" jawabku setengah berteriak. Telingaku salah dengar ataukah ucapannya yang benar? Yang bener saja dong. Makam ibu masih basah, abangku sudah merengek meminta sertifikat rumahnya. Untuk apa? Untuk dijual, katanya.
"Aku banyak utang. Ayolah, Dik. Mana sertifikat rumahku. Pasti Kamu tahu walaupun ibu yang menyimpan."
"Utang apa?" jawabku masih setengah berteriak. Kekesalan sudah menyesaki dada kemudian merambat menuju ubun-ubun. Ujung-ujung rambutku seolah dicabuti karena keluhannya akan hutang.
"Isteriku yang punya utang," jawabnya pelan," Ia diam-diam membangun rumah di kampung halamannya," lanjutnya, "Tapi, gajinya semua sudah untuk membayar tukang. Kamu tahu kan, biaya tukang itu mahal, lebih mahal daripada harga material?" ia menatapku.
"Lalu?" aku sudah mulai memahami arah bicaranya dan segera ingin menyemburnya, tapi kutahan.
"Material belum dibayar. Ia dikejar-kejar pemilik galangan agar segera membayar...