Lihat ke Halaman Asli

Sahabat Kecilku, Marinda

Diperbarui: 20 November 2020   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

              Kami masih berfoto-foto bersama para wisatawan jip Lereng Gunung Merapi. Sekali lagi kulihat ke arah atas sambil membayangkan  manakala lembah yang kami gunakan berfoto itu dilewati lahar dingin. Andaikan dalam keadaan bersantai begini lahar dingin tiba-tiba datang, apa yang harus kami lakukan? Mau tak mau, kami memang harus berjuang menuju ketinggian agar tidak terseret lahar.

Oleh karena itu, aku sebagai keponakan tidak pernah mengkritik tanteku atas kegemarannya membeli aset berwujud tanah jika ada uang berlebih. Ia hidup sendiri dan tengah menunggu proses cerai yang tidak bisa secepatnya karena ia pegawai negeri. Dalam kondisi hidup sendiri tanpa suami dan anak, apalagi yang harus dilakukan jika bukan menabung untuk persiapan hari tua?

"Kalau aku mati besok pagi, sudah jelas siapa yang harus memiliki. Itu teserah Kalian. Yang menjadi masalah justru, bagaimana jika aku panjang umur seperti mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir itu? Umur 95 tahun masih seperti umur 60-an? Aku tidak ingin merepotkan Kalian kelak."

Begitulah yang dikatakannya kepada kami, keponakan-keponakannya. Kami hanya mengiyakan, karena masih belum pernah membayangkan masa tua mereka. Jangankan masa tua tante dan mama, masa tua nenek pun belum terpikir padahal kini umurnya sudah 75 tahun. Itu karena mereka suka tampil modis. Nenek bahkan setiap mengambil uang pensiun selalu cek up kesehatan. Koelsterol, asam urat, tekanan darah, dan gula darah, normal, katanya riang, membuatku yang sesekali mengantarnya jika sedang di rumah pun ikut senang.

Jika nenek dalam umur 75 tahun masih seperti  beberapa ibu yang baru pensiun, maka aku tidak pernah ikut berkomentar tatkala mama maupun tante suka membeli aset berwujud tanah untuk jaminan hari tua, katanya. Bahkan dulu kata mama aku sering menangis jika melihat rambut nenek mulai memutih. Aku saat SMP selalu mengantarkan nenek ke salon untuk mengecat rambutnya agar berwarna kecoklatan.

Semasa muda, nenek dan anak-anak perempuannya memang terbiasa hidup sederhana. Sebagai remaja yang berangan-angan bekerja sebagai guru, dipatahkan begitu saja oleh kakek yang juga guru karena anak-anaknya lahir beruntun. Jadilah, nenek harus mencukup-cukupkan gaji agar bisa digunakan untuk hidup selama sebulan. Kebiasaan hidup sederhana terlebih dalam pola makan, membuat mereka tetap membiasakan diri untuk itu. Jika ada waktu hanya lima menit, dapat dipastikan mereka lebih suka menghabiskan waktu di depan cermin daripada di meja makan.

Kesalahannya dalam melangkah tidak segera menikah karena merasa belum tuntas kuliah, dimaknai beragam di tradisi patriarki, ia pun mencoba mengerti dan memahami. Walaupun sempat syok, namun laporan PISA bahwa hasil membaca kami yang berarti kemampuan literasi kami belum menunjukkan hasil yang bagus, membuatnya tenang sesaat tatkala diterpa suara sumbang.

Suara-suara sumbang yang terdengar manakala melihatnya betah menyendiri adalah cap pilih-pilih lelaki.  Prasangka buruk bagaimana lagi, jika bukan dicurigai ingin menjadi isteri lelaki kaya agar berperan sebagai ratu lebah yang hanya berdiam diri sambil makan royal jelly? Prasangka yang asal saja mungkin sekadar bergurau, seringkali ditanggapi dengan sakit hati olehnya.

Maka, kebiasaan mandiri sejak kecil yang membuatnya lebih cepat memiliki tabungan dibandingkan wanita pekerja bergaji sama dengannya, yang acapkali mengundang tanya untuk apa? Membuatnya semakin terluka. Kami para keponakannya tertawa saja mendengar keluhannya.

"Tidak perlu ditanggapi, Tante. Toh itu uang tante, hasil berhemat dan menabung, bukan hasil korupsi, bukan pula hasil dari memoroti kaum lelaki,"hiburku.

Bagaimanapun, sebagai keponakan, aku sangat mendukung tekatnya untuk tidak merepotkan kami pada masa tuanya. Terlebih jika ia meninggal cepat toh kami dapat pula warisannya. Hehehe. Untuk yang ini bergurau deh. Warisan dari orangtuaku pun aku tidak pernah mikirin, bahkan aku tengah berjuang untuk bekerja sambil berwirausaha, apalagi warisan tante. Tapi, salahkah jika aku mendukungnya untuk memiliki tabungan masa tua? Hal itu memang keharusan, bukankah sebagai anak nenekku, mama dan tanteku pun menjaga kesehatannya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline