Lihat ke Halaman Asli

Kata Ibu Vs Kata Hatiku

Diperbarui: 8 November 2020   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Aku melangkah menuju bandara. Jika ditanya ke mana, jawabku tentu saja, pulang. Entahlah, begitu lulus kuliah kemudian bekerja, orang pertama yang terbayang tatkala kulihat jumlah gajiku adalah ibuku. 

Maka, yang kulakukan kemudian adalah mentransfer semuanya ke rekening ibuku dengan alasan titip, aku hanya membawa seperlunya. Toh, andaikan  membutuhkan uang sewaktu-waktu, aku tinggal memintanya kembali kepada ibu.

Rasanya sudah lama. Lama sekali. Begitu aku memasuki usia 15 tahunan ketika aku mulai membantah apa pun yang dikatakan ibu. Kuanggap ibu terlalu dominan di rumah. Aku memberontak dengan cara tidak mematuhi aturannya terutaman yang berkaitan dengan kedisiplinan di sekolah.

Perilaku yang membuatku menyesal tatkala aku harus berkuliah di negeri orang karena segala yang dikatakan ibu ternyata benar adanya. Kerinduan dan penyesalan yang mendalam akhirnya dapat kusalurkan sebaik-baiknya dengan cara menyelesaikan kuliahku tepat waktu. 

Setelah itu, pekerjaan bermasa depan cerah pun menunggu. Betapa bahagianya ibuku. Perjuangannya untukku ternyata bukan angin lalu, walaupun dulu sering merasa pilu karena pembangkanganku. Tapi akhirnya duka ibu telah berlalu.

Sambil merasakan pesawat yang  agak terguncang-guncang manakala menembus awan. Turbulensi. Kondisi tatkala kecepatan aliran udara berubah drastis. 

Pesawat sudah didesain untuk menahan turbulensi, walaupun demikian ada perasaan gentar juga dalam hatiku. Maka yang kulakukan kemudian adalah menengok ke jendela, melihat ke bawah. 

Kebetulan aku duduk dekat jendela. Langit terlihat jernih. Jangan-jangan yang terjadi malah turbulensi udara cerah? Clear air turbulence? Ah, aku tidak ingin panik berlebihan. Yang kulakukan kemudian adalah berdoa demi keselamatan kami semua.

"Mama!" aku menghambur ke pelukannya sambil mengingat kebiasaanku semasa kecil. Ibu pun memelukku juga seperti kebiasaannya, sambil mengacak-acak rambutku. Tapi kini kesulitan karena aku sudah semakin tinggi dibandingkan saat aku masih suka bermanja dulu.

"Aduh, rambut Mama dibiarkan memutih, nggak keren,"tegurku sambil duduk di samping papa. Mama beranjak ke kulkas mengambilkan air minum untukku.

"Sebentar lagi jika anak cucunya berkumpul, mamamu pasti ke salon,"jawab papa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline