Lihat ke Halaman Asli

Petaka Pukul 00.00

Diperbarui: 14 Oktober 2020   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gettyimages.ca

Surti kembali menemui Birun. Lelaki muda itu pun tidak banyak berkata, memboncengnya menuju bukit kecil tempat tinggal mbah Sira. Seperti pengalaman sepuluh tahun yang lalu, Surti pun tetap harus membungkukkan badan untuk memasuki gubug mbah Sira, karena gubugnya didesain beratap setinggi orang duduk. Di dalamnya terlihat mbah Sira tengah duduk di depan dupa yang mengepul menebar bau kemenyan.

Seperti sepuluh tahun lalu, Surti pun tetap bergidik melihat mbah Sira. Sosok ini manusia ataukah sejenis genderuwo, tanya hatinya. Jika manusia mengapa tidak memiliki keinginan bertempat tinggal normal seperti layaknya manusia lainnya? Gubugnya jelek dan jorok, jika tidak dapat dikatakan hampir roboh, dengan desain sangat rendah hanya bisa digunakan untuk duduk dan tiduran.

"Ada masalah apalagi Wong Ayu?"tanya mbah Sira menatapnya. Bulu kuduk Surti mendadak meremang. Mbah Sira tertawa memperlihatkan giginya yang kuning.

"Suamimu rezekinya seret?" Surti mengangguk. Tenggorokannya serasa tercekat sehingga ia tidak sanggup menjawab. Mbah Sira menengok ke arah kemaron, keramik dari tanah liat, di sebelahnya.

"Sebetulnya yang seret itu rezekimu,"ujar mbah Sira sambil memperlihatkan beberapa cangkir dari tanah liat, "Rezekimu sebetulnya hanya sebesar cangkir ini,"lanjutnya sambil mengangkat cangkir terkecil.

"Tapi Mbah,"Surti menjawab,"Karena itu saya berusaha." Suaranya gemetar diiringi gelegar tawa mbah Sira yang kembali menatapnya.

"Boleh berusaha. Jika tak ada malaikat yang menolong, setan pun mau. Pasti mau,"setelah mbah Sira menghentikan tawanya,"Sepuluh tahun lalu, Dimas, atasanmu di kantor, telah Kautaklukkan atas bantuanku, bukan? Ada apa dengan dirinya sekarang?"

"Mas Dimas tidak secerdas sebelum menikah dengan saya, Mbah. Ia seolah linglung, segala pekerjaan akhirnya diserahkan kepada saya, padahal saya juga repot mengurus rumah tangga."

"Tentu saja. ia menjadi linglung karena kubuat takluk kepadamu."

"Seharusnya kan hanya takluk kepadaku, Mbah. Tidak lumpuh semua otaknya. Segala kesibukan akhirnya saya harus turun tangan. Kini ia di-PHK pula. Bagaimana kami bisa hidup,Mbah?" Surti pun berurai airmata.

"Bagaimana saya ngerti kerja otak? Yang penting dilumpuhkan agar takluk kepadamu, ya sudah. Jika akhirnya takluknya tidak hanya kepadamu, itu risiko." Surti masih menangis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline