Spesies yang dapat bertahan hidup bukanlah yang paling kuat, bukan pula yang paling cerdas, melainkan mereka yang paling mampu menghadapi perubahan (Charles Darwin)
Kali ini saya ada jadwal Work form Home. Setelah pekerjaan kantor terselesaikan, merasa memiliki waktu yang biasanya untuk berangkat dan pulang dari kantor, saya pun menengok cucian. Waow, lumayan menumpuk. Akan tetapi, saya bertekat mencucinya sendiri, selain hanya pakaian sendiri, juga meneruskan kebiasaan melakukan senam melentikkan jari-jari tangan.
Dari sekian langkah pilihan, satu langkah diantaranya adalah dengan cara menggenggam jemari kuat-kuat lalu ditindaklanjuti dengan membukanya sehingga otot serasa tertarik. Lalu, apa hubungannya dengan mencuci pakaian? Bukankah gerakan memeras cucian sampai airnya tuntas ditindaklanjuti dengan mengibaskan airnya untuk dijemur, sama dengan gerakan senam pelentikan jemari di atas? Kesibukan yang memang terbukti selain mengencangkan lengan tangan.
Setelah "senam" terselesaikan, seperti biasa, saya mengambil sebuah buku dari rak, jika tidak sempat meminjam dari perpustakaan, barangkali ada bahan bacaan untuk kompasiana. Kesibukan yang berkaitan dengan komitmen berliterasi, satu hari satu tulisan, selain menyalurkan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Hehehe.
Adakalanya manusia menghadapi tantangan sebagai peluang, namun tak jarang yang menghadapinya dengan sebaliknya, dengan was-was, pesimis, apatis. Itulah isi ringkas sebuah paragraf awal yang saya baca dari sebuah buku yang berjudul "Vaksin Krisis". Di manakah perbedaannya? Ternyata perbedaannya terletak pada kemampuan cara mengenali kelemahan maupun kekuatan diri.
Seringkali sumber keterpurukan karena adanya masalah adalah akibat dari kekurangluwesan dalam menyikapi masalah. Mengapa? Krisis bukan musibah yang datang begitu saja, melainkan akumulasi berbagai kesalahan kecil yang akhirnya membesar dan tidak lagi terkendali.
Contoh perasaan mengalami krisis adalah gaya hidup konsumtif, lalai memeriksa tabungan demi gaya hidup konsumtif tersebut, pengeluaran bulanan yang lebih besar daripada pemasukan, dan lain-lain. Perasaan mengalami krisis tentu akan membuat perubahan dalam kehidupan. Perubahan tersebut bisa positif maupun negatif, bergantung kita dalam menyikapinya.
Akan tetapi, banyak riset membuktikan bahwa tatkala dalam keadaan terpuruk akibat mengalami krisis, dalam keadaan stress, justru banyak orang yang tidak lagi mau membuka diri terhadap ide-ide baru. Situasi eksternal yang berubah begitu cepat dan tidak dapat diprediksi membuat orang merasa bahwa segala upayanya telah gagal.
Dalam perasaan merasa gagal tersebut, ia tidak dapat memunculkan cara yang lebih tepat untuk menanggulangi situasi tersebut. Parahnya, mereka adakalanya memilih jalan pintas, misalnya mengonsumsi narkoba, minuman keras, gali lubang tutup lubang, yang justru malah memperbesar masalah.
Adakalanya orang pun mengalami alergen mental berkaitan dengan krisis yang dialaminya, misalnya tidak segan mengumbar hal negatif meliputi kata-kata negatif beserta tingkah laku buruk lainnya. Hal yang memengaruhi kondisi mental seseorang untuk mengalami keterpurukan lebih dalam. Mengapa orang bisa terserang alergen mental?
Hal itu karena kekurangkreatifan dalam mengatasi masalah. Pernahkah kita bertahun-tahun menempuh rute yang sama untuk berangkat dan pulang dari beraktivitas, lalu dengan tiba2 tampak toko busana yang belum pernah kita kunjungi? Atau dalam rute tersebut ternyata ada toko kebutuhan sehari-hari yang selama ini tak pernah terlihat?