Lihat ke Halaman Asli

Untuk Apa Aku Dilahirkan, Ibu?

Diperbarui: 30 September 2020   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sambil menyapu rumah sesekali menengok magic com barangkali nasi sudah masak untuk bekal ke kantor, radio menyampaikaan informasi yang membuat naluri saya sebagai wanita sekaligus guru, menjadi terusik. Untuk sesaat saya tertegun dengan perasaan kaca balau tentu.

Siapa yang tidak terkejut mendengar informasi, bahwa seorang ibu tega membunuh anaknya karena sulit diajak belajar online. Oleh karena penasaran masih belum hilang, setiba di kantor saya mencari informasi lanjutan dari media  lainnya, dari situ saya beroleh informasi tambahan tentang sang ibu yang mengaku kepada penyidik bahwa ia menganiaya korban hingga tewas. Persitiwa tersebut terjadi di pada 26 Agustus 2020 di rumah kontrakannya di wilayah Tangerang.

Apa yang terlintas setelah untuk sesaat tertegun? Teringat apalagi? Teringat bahwa secara genetik, kecerdasan anak diturunkan oleh ibu? Sehingga seharusnya si ibu bersabar menghadapi kesulitan anaknya dalam belajar? Karena bisa jadi, kesulitan belajar tersebut menurun dari dirinya sendiri? Penelitian terbaru di Psychology Spot dalam aladokter.com mengatakan ketika menyangkut kecerdasan, dipastikan gen tersebut berasal dari seorang ibu.

Gen kecerdasan terletak di kromosom X dan perempuan membawa dua kromosom tersebut. Sementara laki-laki hanya membawa satu kromosom X. Oleh karena perempuan membawa dua kromosom X, maka bisa dipastikan anak-anak mereka memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mendapatkan warisan kecerdasan darinya.

Dalam hal kecerdasan, seorang ibu berperan penting menurunkan kecerdasannya pada anak, memang telah dibuktikan fakta pendukung lainnya, misalnya The Medical Research Council Social and Public Health di Amerika Serikat yang telah melakukan penelitian pada ibu-ibu pada tahun 1994. Uji tes dilakukan dengan mewawancarai 12.686 anak muda usia 14- 22 tahun. Pertanyaan berokus pada IQ, ras, pendidikan, serta sosial ekonomi anak. Dari situ diperoleh informasi bahwa ibulah yang menurunkan kecerdasan intelektual kepada anaknya.

Yang terlintas berikutnya adalah, ingatan akan emak-emak yang suka menceritakan prestasi anak-anaknya ketika berbelanja? Sehingga begitu ada pendapat pakar pendidikan bahwa untuk sekolah umum, nilai siwa  tidak harus diranking, terlebih  penghapusan sistem ranking sudah diberlakukan sekitar 2010-an awal ataupun 2000-an akhir, saya pun menyembunyikan peringkat atau ranking siswa. Peringkat tersebut khusus untuk konsumsi saya pribadi selaku wali kelas.

Peringkat yang hanya saya berikan ketika dibutuhkan misalnya di kantor orangtua ada hadiah bagi anak mereka yang menduduki tiga besar, dan lain-lain kebutuhan sesuai permintaan orangtua. Itu pun ketika membagikan raport saya seringkali berpesan kepada orangtuanya agar anak-anak janganlah dimarahi andaikan ada perubahan nilai. Tetaplah diawasi saat belajar, diarahkan dan ditemani, jika belajar setiap hari tentu ada kemajuan.

Mengapa si ibu tersebut tega menghajar anaknya  sampai tewas? Mungkin memang tidak berniat menewaskan. Yang pasti, si anak telah telanjur tewas. Bagaimanakah kondisi psikologis ibunya saat marah-marah kepada anaknya itu? Merasa menderita karena keuangan yang seret? 

Bukankah masalah tersebut pun dialami semua manusia di dunia ini, karena pendemi covid-19?  Merasa menderita karena masih tinggal di rumah kontrakan? Mengapa masih mengontrak ketika memutuskan menikah? Mengapa tidak menabung atau mencicil perumahan sebelum memutuskan menikah karena kelak yang akan banyak berada di rumah memang ibu?

Ah, pertanyaan yang melintas menjadi terlalu luas, mengarah ke privacy. Toh, membeli rumah atau tidak itu hak manusia. Seumur hidup mengontrak rumah pun bukan masalah, asalkan bisa tabah, sabar, ikhlas.

Akhirnya, ingatan yang kembali melintas-lintas adalah, mengapa si ibu tega memarahi anaknya yang kesulitan belajar dengan cara menghajarnya? Bukankah informasi bahwa dalam era covid-19 pembelajaran tidak harus tuntas? Andaikan anaknya benar-benar mengalami kesulitan belajar, ibunya kan bisa menelepon atau menemui gurunya di sekolah, lalu menceritakan masalahnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline