Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Memilih Setia

Diperbarui: 19 Juni 2020   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pxhere.com

                Kutatap wajah di depanku dengan perasaan simpang siur, antara bangga mampu meraih hati primadona kampus sekaligus cemas ia akan sangat kecewa andai tahu fakta sesungguhnya tentang diriku. Kuikuti dengan mataku setiap geraknya yang manja, lincah, dan seolah sangat percaya sekaligus bergantung kepadaku. 

Rambutnya berombak sebahu agak ikal membingkai wajahnya yang tirus berpadu dengan kulit langsat. Adakalanya ia tampil bak boneka barby, tapi tak jarang ia tampil tomboy, bahkan cenderung semaunya manakala tugas-tugas di kampus sedemikian menyita waktunya. Sebagai sesama aktivis kampus, kami memang dekat. Pada awalnya sebagai teman bersibuk, tapi kian lama kian terasakan bahwa ia sesungguhnya mulai bergantung kepadaku, mulai memercayakan dirinya kepadaku dengan segenap positive  thinking yang dimiliki.

              Aku merasa bukan tipe pria penggoda, bahkan cenderung bersikap cuek. Sikap yang baru kutahu bahwa hal itu sesungguhnya yang memberi "pesona" lebih bagi diriku, menurut isteriku. Aku tersentak dari lamunan tatkala ia sudah menghabiskan jus dan beranjak dari tempat duduknya kemudian buru-buru ke kasir dan membayar semuanya.

            "Kenapa harus Kamu lagi yang membayar? Gantian donk." Tapi ia yang selalu tampak cantik dalam kondisi apapun, hanya tertawa manja,

            "Kenapa? Nggak mau ya?"

            "Bukan begitu..." aku tidak meneruskan ucapanku karena di depan teman- teman sudah mendekat dan menggoda,

            "Asyik...." ia tersipu malu sedangkan aku merasakan hal yang tidak nyaman di hati. Tiba-tiba ia sudah duduk di sebelahku, menyandarkan kepala di bahuku ketika kami telah mengerjakan tugas kelompok senja itu. Teman-teman tidak lagi menggoda bahkan menganggap kami benar- benar pacaran, sehingga mereka berusaha tidak melihat ke arah kami.

Kubiarkan sesaat cara-caranya, bukan demi kebanggaan, juga bukan terhanyut kepada ulahnya, tapi lebih banyak demi menjaga perasaannya. Akhirnya, setelah menyadari aku tidak bereaksi selain hanya diam, ia pun menatapku sekilas, kemudian mengangkat kepala dari bahuku dengan ekspresi kesal.

            "Kenapa? Marah ya?" spontan saja tanya itu meluncur dari bibirku sambil menatap tepat kedua bola matanya yang tampak berkaca-kaca. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa iba dan spontan begitu saja, kupeluk dia. Ia segera menyusupkan kepala ke dadaku, membuatku terpaksa merasakan bau shampo dari rambutnya yang baru keramas. Tapi hanya sampai di situ yang kulakukan, selebihnya, kubiarkan dia tetap merebahkan kepala di dadaku tanpa merasakan belaian tanganku di rambutnya, sesuatu yang mungkin sangat diharapkannya.

Sungguh, bukan aku cemas ketahuan istriku. Andaikan ia tahu, bisa kupastikan ia tidak akan marah. Bukan karena ia tidak pencemburu karena seperti umumnya wanita, ia juga pencemburu.

Aku bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu, ketika aku iseng saja mengikuti lomba fashion show. Ia yang satu di antara para juri itu, tampak anggun di balik setelan celana panjang dan blazer sepinggang yang membungkus tubuhnya. Di balik keanggunan busananya, sulit disembunyikan betapa sesungguhnya tubuhnya sensual. Dada membusung walau terlindungi blazer, wajah baby face pula, lagipula postur tubuhnya yang tampak mungil bagi ukuran tubuhku, membuatku berani mendekat sekadar bertanya hasil penilaian, saat kami berpapasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline