Lihat ke Halaman Asli

Hukum di Negeri Ini Runcing Kebawah Tumpul Keatas

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai Kritik sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita angkat bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. “Runcing Kebawah Tumpul Ke Atas”. Itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi penegakkan hukum di Indonesia. Karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.

Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan. Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang carut-marut. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.

Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti Kisah yang dialami nenek Asyani (63) ini benar-benar menggambarkan pepatah hukum di negeri ini “runcing kebawah tumpul keatas” karena tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di ancaman hukuman penjara 5 tahun. sampai-sampai duduk bersimpuh dan menangis di depan majelis hakim, memohon pengampunan. “Runcing kebawah tumpul keatas” juga terjadi pada kasus anak dibawah umur, Hamdani yang mencuri sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang numpang ngecas handphone di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nunda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut.

Maka dari itu UUD pasal 28 D ayat 1 harus ditegakkan. Karena jika tidak kasus seperti ini akan terulang kembali dan hak diperlakukan sama didepan hukum seperti tidak berlaku lagi. Jika HAM untuk diperlakukan sama di depan hukum ini dipenuhi maka hukum di Indonesia tidak akan lagi tajam disatu sisi.

Para penegak hukum yang bermental buruk, yang memperjual-belikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari  bukan tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.

Fakta-fakta tentang praktik hukum yang buruk ini satu per satu mulai muncul kepermukaan. Mulai dari praktik terselubung mafia peradilan serta terungkapnya fenomena istana mewah dalam penjara, semakin menunjukkan ketidakberesan penegakan hukum Indonesia selama ini. Menanggapi peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian besar rakyat nampak dipenuhi rasa kecewa. Banyak muncul demonstrasi demonstrasi yang terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat atas kinerja para aparat hukum baik di pusat maupun di daerah.

masyarakat Indonesia begitu haus dengan penegakkan hukum yang adil.
Yang dapat dilakukan hanyalah denganpembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat Indonesia, negeri ini sangat butuh penegakkan hukum yang adil dan tegas. Tidak ada diskriminasi dalam penegakkanya.

Faktor yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia yaitu lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.

Untuk membangun sistem penegakan hukum yang bisa menjadi penegak hukum sama rata sama rasa yaitu dengan Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa “setiap masyarakat dianggap tahu hukum” sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan advokasi agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri, melakukan penyempurnaan atau memperbaharuan serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya.

Pembenahan hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan, khususnya dalam menghadapi tingkat kepercayaan masyarakat yang kian hari kian menurun. Banyaknya prespektif masyarakat yang salah mengenai keadilan hukum di Indonesia serta didukung oleh perilaku aparat penegak hukum yang tidak sesuai. Akibatnya citra hukum dimata masyarakat semakin buruk.

Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia memang sangat susah. Namun bila aparat penegak hukum dapat berubah dan sedikit demi sedikit mulai memperbaiki sikap menuju ke arah yang lebih baik lagi tentunya hal ini tidak lagi menjadi sulit. Asalkan aparat penegak hukum dapat bertindak sesuai dengan apa yang telah menjadi tugas awalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline