By. Nani Cahyani
Cerita ini tentang aktifitas kemarin yang saya jalani, dalam tahap masa akhir studi di Universitas Hasanuddin Makassar. Saya harus berusaha menset waktu dengan baik justru godaan terbesar adalah ketika mata kuliah sudah tidak ada lagi dan saya beserta mereka mereka yang menyelesaikan studi S2 di Unhas harus betul betul mengerahkan kemampuan berkutat dengan pemikiran, teori-teori ahli untuk mebuktikan kadar kualitas penelitian. Dalam proses menuju thesis tidaklah mudah, menjalani empat tahapan ketat: pertama mempersiapkan judul dan mempertanggung jawabkan dihadapan lima dosen senior dan tahapan ini disebut Ujian Pra-proposal ketika S1 pengalaman yang saya dapatkan prosedurnya hanya menyerahkan tiga kandidat judul dan satu judul yang akan disetujui oleh ketua program studi dan tanpa melalui tahapan untuk mempertanggung jawabkan dalam sidang, simplenya menyerahkan kertas dan ditentukan siapa pembimbing dalam proses penyusunan skripsi.
Kembali pada tahapan menulis thesis, pertama ujian Pra-Proposal dan judul disetujui setelah melalui proses tanya jawab dengan penguji dan dihadapan audience jadi bisa dibayangkan kecepatan jantung detaknya bermain diskala richter (sambil mengetik tersenyum), selanjutnya ujian Proposal, kemudian menyusul ujian hasil dan terakhir tahapan ke empat; ujian tutup, pada saat ujian tutuplah baru bisa menyandang gelar Master. Saya membayangkan dihari gelar master bertandang padaku maka pemaknaannya lebih pada mempertanggung jawabkannya dimasyarakat dan diakademik tempat saya bernaung, disisi lain kebahagiaan menyandang gelar master sebelumnya adalah proses kemarau panjang yang mematikan keinginan keinginanku pada pada sorak dunia dan seketika diriku merasa guyuran dingin lembut hujan yang iramanya seperti harmoni indah, saat itu ketika gelar master kuraih.
Lembut drizzling hujan yang menemani langkahku menapaki setapak setapak Unhas, aktifitas yang teramat menyenangkan saat saya berjalan dibawah pohon pohon rindang yang selalu menaungi langkah langkah kecilku. Mengamati sekelilingku dan jika memungkinkan saya berusaha mengambil gambar walau terkadang ada perasaan kwatir orang akan berfikir yang tidak tidak. Untuk ini saya teringat salah satu artikel yang saya baca tapi maaf jika saya tidak bisa menulis judulnya disini karena keterbatasan ingatan saya. Namun saya bisa bercerita sedikit. Saya dan Anda pasti mengenal Thomas Alfa Edison sang maestro penemu yang memegang rekor 1.093 paten atas namanya, suatu saat ada tamu yang bertandang kerumahnya tapi ketika bertemu dengan Thomas alfa Edison disampaikanlah keluhannya katanya “mengapa pintu gerbang harus didorong dengan kuat baru pintu akan terbuka” tak banyak bicara lantas Thomas Alfa Edison mengajaknya ke attic (loteng) ditunjukkan pada tamunya perkakas seperti gear (roda yang bergigi yang berfungsi untuk konstruksi mekanik). Saya coba mengilustrasikan ucapan Thomas Afla Edison, mungkin seperti ini: “setiap kali orang membuka pintu gerbang sebenarnya tanpa mereka sadari bahwa itu adalah energy yang dialirkan ke gear untuk memompa air menuju tempat penampungan air, jadi tenaga yang mendorong pintu gerbang dirubah menjadi tenaga listrik yang menggerakkan gear untuk mengalirkan air”. Benar kata Aristotheles (a greek philosopher), tidak pernah ada orang jenius tanpa diwarnai oleh kesintingan. Saya mengartikan kata terakhir adalah berbuat sesuatu yang diluar nalar salah satunya mungkin mengambil gambar yang bisa memberi inspirasi mungkin itu salah satu kesintingan yang dimaksud Aristotheles hehehe.
Saya mencoba mengangkat kisah pagi hari di Unhas melihat kesintingan yang jenius, seperti biasa yang namanya revisi sangat erat kaitannya dengan proses memyelesaikan thesis dan setiap kali merevisi harus memprint ulang proposal yang sudah direvisi sebelum menunjukkan pada pembimbing. Saya biasanya mensave di fd untuk semua hasil revisi dan memprintnya dikampus dikarenakan jika memprint diluar harganya agak mahal salah satu jurus jitu mensave budget yang handal dengan memprint dalam kampus. Cerita manusia printer bermula disalah satu sudut dibawa gedung sastra unhas ada ruangan kecil yang ditangani satu orang saya biasa memanggilnya dengan sebutan kakak, diruangan kecil itu ada sekitar tiga puluh lebih printer dan ditambah dua printer diluar ruangan serta laptop dan notebook yang disiapkan kalau tidak slah mengingat jumlah laptop keseluruhan sekitar tujuh laptop (maaaf jika penulis salah mengingat). Hari dimana saya ngeprint file proposal itu ide menulis tentang manusia printer itu hadir, bayangkan saja hanya dengan mendengar suara mesin printer kakak itu tahu ada dua halaman yang tidak sempat mesin itu memprint dan dalam satu ketika semua file yang ingin diprint akan terprint bersamaan. Saya yang awam tentang printer heran hanya lewat suara mesin printer kakak ini bisa tahu halaman berapa yang tidak terprint.. hebat bukan.
Menyandang gelar sarjana, master dan doktor menurutku hebat tapi saya berfikir kakak (manusia printer) ini lebih hebat karena tanpa menyadari mesin mesin printer dan laptop laptopnya telah banyak menghasilkan sarjana, master dan doktor. Ditambah lagi Kakak ini mengajarkan kejujuran pada tiap mahasiswa untuk menyebutkan sendiri jumlah halaman yang diprint jadi pembayaran berdasarkan jumlah halaman yang kita sendiri sebutkan. Bukankah kejujuran ditempa disaat itu?.
Tulisan ini hadir untuk menuliskan pikiranku tentang manusia printer, bahwa orang tak mesti selalu bersyaratkan label jika hendak dikatakan cerdas tapi alam menyeleksi kemampuan kita berfikir, berproses hingga akhirnya pengalaman membentuk karakter dan karakter adalah bahan baku mentah pembentuk masa depan siapapun kita, teruslah belajar karena masa depan dibeli oleh masa sekarang.
Mohon maaf saya tidak berhasil mengupload gambar dikarenakan jaringan yang kurang bersahabat berkali kali mencoba, jika ingin melihat gambar kunjungi blog saya www.nanicahyani.blogspot.com
Langit Makassar, 13 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H