Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Harus Terkotak-kotak?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri kita Indonesia merupakan negeri dengan penduduk muslim paling banyak di dunia. Setiap Ramadhan selalu kita sambut dengan penuh suka cita, kebersamaan, dan perasaan senasib. Ya, hampir semua orang berpuasa dan seringkali pula kita tidak menyadari bahwa hal tersebut adalah sesuatu hal yang patut kita syukuri dengan makna yang sesungguhnya kita bersyukur dan kita jadikan kekuatan moral tambahan untuk berbuat yang lebih baik bagi sesama. Tetapi terkadang kebersamaan dalam keseragaman yang menjadi kekuatan kita merupakan ujian paling berat yang harus kita laksanakan.

Ketika semua orang bersama - sama memiliki motivasi luhur memperkuat hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, hendaknya pula kita maknai sebagai pegangan hidup relasi horisontal yaitu kebersamaan dengan sesama manusia. Ya, sesama manusia yang tidak pandang bulu, tidak terkotak - kotak dan saling mewarnai keberagaman tanpa harus mencampuri keyakinan.

Pembelajaran berharga hidup di negeri orang, adalah ketika kita bisa menyaksikan sudut pandang diri sebagai minoritas. Ramadhan merupakan sebuah anugerah. Ramadhan di negeri orang mempererat sebuah identitas. Ya, identitas kebersamaan.

Suatu ketika saya hendak membeli sandwich untuk berbuka di warung mobil dekat tempat saya tinggal. Saya melihat ada tulisan arab di mobil tersebut. Yang pertama saya tanyakan adalah, halal? dijawab, halal! dan seketika saya ditanya, Ramadhan? saya jawab, Ya Ramadhan! dan disodorkanlah sebiji korma. Dan itu adalah korma terindah, ternikmat, dan paling menyentuh hati yang pernah saya makan. Saya bertanya pada si penjual tempat dia berasal, dan dijawab berasal dari Palestina, negeri yang banyak diperjuangkan pembelaan oleh kaum-kaum muslim Indonesia, sebagai sesama saudara, sebagai negeri yang tertindas. Lantas timbul di benak saya pertanyaan kenapa dia memilih mendirikan usaha makanan di negeri yang dia adalah termasuk minoritas, kenapa tidak di negeri saya yang mayoritas penduduknya adalah se-ummat dan selalu lantang bersuara persaudaraan membela negeri mereka dari ketertindasan?

Saya juga melihat di negeri ini banyak sekali imigran dari Turki dan umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, entah itu sayur mayur dan buah-buahan, toko kelontong, toko daging, hingga paling banyak adalah membuka gerai kebap Turki yang tersohor itu. Ya, makanan Turki di negeri ini sangat terkenal, semua orang bisa menikmatinya dan tentu saja termasuk enteng harganya. Gerai-gerai itu buka dari pagi sampai malam, termasuk pula tetap melayani pembeli ketika Ramadhan.

Disinilah ujian yang sesungguhnya, ketika kita dibawa pada perspektif minoritas, kita akan terbawa pada alam kebersamaan, perasaan saudara, ketika tutur sapa salam Islami menjadi lebih bermakna bukan sekedar basa-basi. Ketika sebuah identitas yang sama membawa kepada kebersamaan bukan ketercerai beraian.

Alangkah sedihnya apabila di negeri sendiri kita kerap kali menyaksikan silang dengki dan sengketa sesama anak negeri. Anak negeri yang terkotak-kotakkan atau bahkan sengaja mengkotak-kotakkan diri. Bagaimana sedihnya saya membaca pemberitaan sesama muslim yang merasa lebih paham agama dengan sengaja mencari keributan dengan anak muslim lain yang mencari rezeki dengan tetap membuka dagangan makanan dikala Ramadhan. Apakah mereka yang merasa lebih memahami agama, dapat memahami perasaan hidup menjadi minoritas yang justru membawa kita ke alam kebersamaan? Ketika semua entitas keagamaan kita menjadi hal yang kita rindukan dari sekedar berucap salam hingga bertemu dengan orang yang seagama, justru terjadi di negeri yang kita adalah minoritas, tetapi mampu memahami keberagaman.

Alangkah senangnya hati saya, ketika melihat para muslimin dari berbagai negara mampu mencari penghidupan di negeri yang menurut penilaian sebagian saudara kita merupakan peradaban yang tidak patut ditiru. Apakah mungkin pertanyaan-pertanyaan itu kita kembalikan pada diri kita masing-masing. Kenapa justru bukan negeri kita yang menjadi tujuan mencari penghidupan sesama saudara kita? Kenapa pula bukan kita yang menjadi kaum 'Anshar' yang memberikan tempat perlindungan bagi kaum 'Muhajirin'."? Kenapa justru negeri kita menjadi "permata" bagi mereka-mereka yang sebagian saudara kita menganggap mereka adalah musuh agama?

Kita menjadi bangsa yang haus. Ya, haus akan makna sesungguhnya bagaimana kita bisa lebih menghargai diri kita sendiri dan menghargai kebersamaan. Juga menghargai keberagaman dalam keseragaman yang lebih sulit daripada menghargai keseragaman dalam keberagaman.

Saya Nandy Wilasto, sekarang hidup di kota Berlin, Jerman, menghargai kehidupan keberagaman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline