Pada sabtu malam minggu tanggal tiga belas bulan enam tahun dua ribu dua puluh saya menonton acara Rosi siaran ulang di Kompas TV.
Di sana sebagai pembawa acara adalah kak Rosiana Silalahi dengan bintang tamu bapak Fadjroel Rahman dan bapak Rocky Gerung. Keduanya pernah menjadi aktivis pro demokrasi saat pemerintahan orde baru. Tapi kedua bapak tersebut berbeda jalan hidup.
Rahman menjadi pendukung Presiden Jokowi dengan tugas sebagai juru bicara Presiden Republik Indonesia ke tujuh. Sedangkan Rocky Gerung berfungsi sebagai aktivis anti pemerintah.
Bagi Rocky Gerung pemerintahan Indonesia yang di pimpin Bapak Jokowi selalu salah dari berbagai sudut pandang. Seperti masalah tentang proyek infrastruktur yang ngawur karena memakan banyak ongkos negara padahal lebih baik di berikan kepada rakyat miskin.
Bahkan Rocky Gerung juga memvonis Bapak Presiden Jokowi telah melakukan pelarangan kebebas ekspresi dengan menangkap para aktivis anti pemerintah.
Untuk orang yang sepaham dengan sikap Rocky Gerung maka mereka mendukung tindakan seorang pengajar ilmu filsafat yang pernah menjadi dosen di Universitas Indonesia.
Lalu untuk orang yang berbeda pemikiran dengan Rocky Gerung maka sikap dosen ilmu filsafat itu ada suatu kekeliruan dalam pemikiran.
Pada acara tersebut Rocky Gerung menginginkan agar buzzer politik istana di bubarkan karena hanya sebagai pembela penguasa yang jahat.
Kemudian ada usulan dari pendiri lembaga swadaya masyarakat institut Setara itu agar Presiden Jokowi bisa membuktikan bahwa ada niat baik untuk melindungi kebebasan ekspresi dengan cara membolehkan para mahasiswa untuk mencaci maki Presiden.
Saya merasa aneh dengan usulan dosen ilmu filsafat tersebut. Karena tindakan seperti itu tidak perlu terjadi di sebabkan dunia kampus berbeda jauh dengan dunia penjahat jalanan.
Di kampus di ajarkan cara tentang penyampaian pendapat secara elegan karena warga kampus adalah kaum terdidik di sekolah tinggi dan mendapatkan wawasan yang luas.