Pada 2020 mendatang beberapa daerah di tanah air akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak. Pada kali ini, yang akan menyelengarakan pemilihan kepala daerah tercatat sebanyak 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Namun ada hal menarik dalam pilkada 2020 nanti yang terasa begitu berbeda kontras dengan pilkada ataupun perhelatan demokrasi sebelum-sebelumnya.
Pasalnya pada pilkada 2020 mendatang, ada kandidat di beberapa daerah yang berasal dari keluarga penguasa negeri ini. Anak menantu presiden dan wakil presiden terpiliih Jokow-Ma'ruf Amin dikabarkan siap bertarung memeperebutkan kursi kepala daerah.
Seperti yang telah kita saksikan akhir-akhir ini, anak sulung presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencoba mengikuti jejak sang ayah sebagai wali kota Solo. Selanjutnya tak mau ketinggalan, menanantu presiden Boby Nasution tidak ingin kalah dari sang kakak ipar, kali ini Boby mencoba untuk bertarung di Pilkada kota asalnya, Medan.
Namun tak lengkap rasanya jika anak wakil presiden Ma'ruf Amin tidak ikut turun gelanggang pada Pilkada mendatang. Kali ini, putri sang kiayi yaitu Siti Nur Azizah ikut mewarnai persaingan pilkada kota Tanggerang Selatan.
Ketiga-tiga nya mendaftar sebagai bakal calon untuk partai PDIP. Sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis menilai bahwa etika berpolitik di negeri ini tidak begitu dihiraukan lagi, padahal penting untuk membangun kehidupan demokrasi yang sehat dan bersih.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh anak-menantu presiden dan wakil presiden tersebut. Sebab di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 43 ayat (1), dinyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Tetapi terkait dengan ikut sertanya anak-menantu penguasa negeri ini pada pilkada mendatang banyak menimbulkan asumsi-asumsi negative bagi perjalan demokrasi Indonesia pasca reformasi, yaitu percobaan menerapkan kembali dinasti politik dan kekuasaan. Terlebih lagi bangsa ini pernah mengalami jejak kelam tentang politik dinasti pada era orde baru. Kita tentu tidak ingin hal serupa juga disematkan pada rezim saat ini.
Jika kita amati dan telusuri lebih jauh, pasti banyak kita temukan praktik membangun dinasti politik di berbagai daerah pada pilkada mendatang. Kondisi semcam ini cukup mengkhawatirkan dan tidak sehat bagi jalannya suasana perpolitikan. Alih-alih berkompetisi secara adil dan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang, namun stigma negative tidak akan dapat dihindari.
Kita mencemaskan adanya keterlibatan secara tidak langsung oleh presiden yang memangku kekuasaan dalam memenangkan keluarganya dalam pemilihan umum. Pun tidak dapat dihindari jika nanti kemenangan yang diperoleh bukanlah karena prbuatan diri sendiri, melainkan karean menumpang nama besar sang ayah sebagai presiden dan wakil presiden.
Undang-Undang memang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk dipilih dan memilih, di lain sisi peraturan mengenai tidak diperbolehkannya membangun dinasti kekuasaan juga tidak diatur dalam Undang-Undang.
Pemerintah harus merancang regulasi tentang boleh tidaknya kerabat dekat maju sebagai pejabat eksekutif maupun legislative. Dirasa perlu akan adanya regulasi tersebut untuk membangun etika berpolitik yang sehat dan mencegah budaya politik dinasti.