Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diah Nandini

A human being.

Filsafat Abad ke-20

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Filsafat abad ke-20 membawa kita pada corak filsafat yang lebih berwarna dibandingkan era sebelumnya. Secara periodis, filsafat abad ke-20 dimulai pasca filsafat modern. Pada masa inilah, pergeseran gaya filsafat dapat ditangkap secara jelas. Salah satu faktor utama adalah gejolak realitas di kala itu yang terekspos besar-besaran dalam Perang Dunia. Industrialisasi manusia di Barat terjadi secara revolusioner dan turut memegang andil dalam filsafat abad ke-20. Kasus ini membangunkan para filsuf akan fenomena riil yang dialami, sarat partikularitas yang sifatnya tidak bisa dipukul rata dalam sebuah konsep saja. Apakah manusia sebagai kajian filosofis, dapat diukur dengan rasionalitas tunggal? Apakah manusia dapat dipatok sebatas objek yang sama (objektifikasi)? Apakah prinsip universal dapat diterapkan dalam realitas yang sebenarnya berupa gejala sosial-kultural? Pertanyaan seperti ini bermunculan, sehingga tema perenial pun perlahan mulai ditinggalkan. Namun demikian bukan berarti rasio tidak digunakan oleh para filsuf abad ke-20. Rasio diasumsikan sebagai entitas yang tetap bergantung pada kondisi sosial-kultural manusia. Implikasinya, terdapat banyak corak filsafat yang terspesifikasi dan tidak berpayung pada satu tema rasionalitas otonom.

Ada fakta lain yang dapat dianalisis dalam kebangkitan filsafat abad ke-20. Yakni proyek filsafat modern yang belum selesai. Karl Marx merupakan filsuf era modern yang menyisakan problem filsafat hingga kini. Utopia Marxisme yang menggadang-gadang masyarakat tanpa kelas, menjadi poin yang digarisbawahi pada filsafat abad ke-20 bahkan hingga hari ini. Hal ini menarik tentunya, karena walau dianggap sebagai unfinished project[1] namun kehadiran Marx menjadi influence tersendiri bagi filsafat abad ke-20.

Yang harus dipahami dalam kajian filsafat abad ke-20 adalah warisan semangat Friedrich Nietzsche. Ialah tokoh besar modern yang sekaligus membangkitkan gairah filsafat abad ke-20. Topik-topik filsafatnya menjadi karakter umum sepanjang era ini. Filsafat tidak lagi bergumul pada perkara rasio/inderawi semata, tetapi melekat pada realitas manusia yang sarat akan psikologisme, emosi, dan desire. Dapat dilihat bahwa tema-tema filsafat abad ke-20 banyak membahas keseharian. Pada eksistensialisme misalnya, bagaimana manusia menjadi Subjek yang sungguh-sungguh berkesadaran dan terlibat dalam hidupnya. Bagaimana manusia berelasi dengan the Others. Ada pula fenomenologi, yakni gejala kenampakan keseharian yang dikritisi secara refleksif. Ambillah contoh lain, misalnya dalam pragmatisme yang digagas oleh William James. Yakni filsafat ini haruslah berpatokan pada prinsip manfaat praktis kehidupan[2], dimana absolutisme tidak dipandang secara rigoris. Pada filosofi moral pun demikian, filsafat abad ke-20 sudah masuk pada wilayah etika praktis langsung. Walaupun pada era modern Immanuel Kant sudah menyinggung problem moral; tetapi ia masih mengandaikan kebenaran yang tunggal, dan masih erat dengan universalitas. Tentu ini sangat berbeda dengan corak filsafat abad ke-20. Semuanya menjadi terspesialisasi sesuai konteks riil yang dijalani dalam kehidupan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebangkitan filsafat abad ke-20 menjadi ironi bagi filsafat itu sendiri. Kontradiksi sederhana dapat dipahami, di satu sisi bahwa era abad ke-20 membuka garis batas filsafat menjadi bebas dan menarik. Filsafat menjadi topik yang membumi, tidak mengawang di menara gading. Filsafat terkemas sedemikian rupa, sesuai konteks kekinian dan terasa nikmat untuk dikaji. Di sisi lain, anomali filsafat sebagai Yang Maha Agung sangat jelas terlihat. Pernyataan ‘philosophy is mother of science’ menjadi kisah lama semata. Pada abad ke-20 inilah, para filsuf benar-benar disentakkan oleh fakta yang tidak terhindarkan. Semakin berkembangnya disiplin ilmu lain (yang sebenarnya merupakan derivasi filsafat), filsafat semakin jelas kehilangan objek kajian. Konsekuensinya adalah, filsafat menjadi studi lanjutan atas disiplin ilmu. Filsafat melekat pada banyak bidang positivis lainnya. Arogansi filsafat pun harus ditinggalkan karena fakta berkata demikian.

Daftar Bacaan

Best, Steven. Postmodern Theory. 1991, New York: The Guilford Press

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 1980, Jogja: Kanisius

[1] Lihat Steven Best. Postmodern Theory, hal. 234

[2] Lihat Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat, hal. 131

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline