Lihat ke Halaman Asli

Ketika Orangtua Tidak Lagi Menjadi Panutan Anak (Sebuah Pelajaran dari Jepang)

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413073150687495364

[caption id="attachment_365804" align="aligncenter" width="477" caption="Budaya antri masyarakat Jepang saat menunggu bus di halte ketika hujan turun. Foto by Junanto Herdiawan"][/caption]

Dua bulan sudah saya dan keluarga menetap di Jakarta, pasca perantauan kami selama 3 tahun ke negeri sakura, Jepang. Sebagai warga baru Jakarta, kami masih dalam proses adaptasi di berbagai hal, terlebih bagi isteri dan anak saya yang baru kali ini menjalani hidup di ibukotanya Indonesia. Setelah sebelumnya terbiasa dengan kehidupan di Jepang yang terkenal dengan budaya displin dan teraturnya, kami sekeluarga harus menyiapkan mental untuk menghadapi pola hidup keseharian masyarakat Jakarta. Bagi orang dewasa seperti saya dan isteri, bukanlah sesuatu yang mengejutkan saat melihat perbedaan budaya antara masyarakat di Jepang dan di Jakarta, karena kami sudah mengetahui dan memahaminya. Namun culture shock ini akan berbeda bagi anak-anak kami yang masih kecil, dimana sebahagian besar usianya dihabiskan di Jepang.

Di minggu-minggu awal tinggal di Jakarta, kerap kali kami mendapat pertanyaan kritis dari anak-anak kami seputar prilaku masyarakat Jakarta, terutama saat berkendaraan di jalan raya. Salah satunya datang dari anak kedua kami, Aqil, yang berusia 5 tahun. Dia menanyakan kepada saya, kenapa pengendara motordi depan kendaraan kami tetap melaju, meskipun lampu lalu lintas telah menunjukkan warna merah. Pertanyaan lain juga pernah ditanyakan saat dirinya melihat banyak kendaraan yang melaju di jalur khusus busway. Dengan raut wajah penuh keingintahuan, dia seperti mengkonfirmasi apa yang pernah saya sampaikan ke dirinya, bahwa jalur busway hanya khusus diperuntukkan untuk busway.

Bagi kami, kebingungan yang melanda Aqil anak kami, memang sesuatu hal yang wajar, mengingat selama 3 tahun terakhir dirinya terbiasa melihat kedisplinan pengguna jalan di Jepang, yang selalu mentaati aturan yang berlaku. Saat tinggal di Jepang, sangat mudah bagi kami menjelaskan pertanyaan-pertanyaan kritis dari anak kami seputar peraturan berlalu lintas atau prilaku keseharian orang Jepang, karena apa yang terjadi telah sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku. Seperti ketika ditanya kenapa saat lampu merah semua kendaraan harus berhenti, mengapa kita harus mengantri dengan baik, atau mengapa kita harus berjalan di pinggir jalan, serta pertanyaan lainnya. Jawaban yang kami berikan dapat dicerna dengan cepat oleh mereka, karena apa yang kami ceritakan sesuai dengan apa yang terjadi dan terlihat oleh anak kami.

Dari pengamatan kami sebagai orang awam, salah satu penyebab semakin lunturnya budaya disiplin pada sebagian besar masyarakat Jakarta adalah, tidak berfungsinya peran orang tua sebagai role model (panutan) bagi anak-anaknya. Orang tua sebagai sosok yang paling dekat dengan anak, diharapkan dapat memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Prilaku yang ditunjukkan oleh orang tua, diyakini dapat menjadi salah satu faktor pembentuk karakter si anak. Bagaimana kita mengharapkan anak kita menjadi disiplin dan patuh, bila kita sebagai orang tuanya melakukan perbuatan melanggar hukum di depan anak kita. Saya sering melihat pengendara motor yang memboncengi anaknya saat akan diantar ke sekolah, menerobos lampu merah atau melawan arah, yang jelas-jelas merupakan sebuah pelanggaran.

[caption id="attachment_365801" align="aligncenter" width="1024" caption="Pengendara motor yang tidak mentaati lampu lalu lintas"]

14130724991433675231

[/caption]

Bila perbuatan ini dilakukan setiap hari oleh orang tua di hadapan anaknya, bukan tidak mungkin akan membentuk karakter si anak menjadi seorang indispliner. Setelah beranjak remaja, si anak akan berkendara di lalu lintas layaknya orang tua mereka, bahkan mungkin lebih buruk lagi, karena emosi remaja yang masih labil akan mendorong mereka untuk bertindak tanpa mempertimbangkan risiko.Kondisi ini akan semakin diperparah dengan lemahnya penegakkan hukum oleh aparat keamanan. Pembiaran yang dilakukan aparat tehadap pelanggar peraturan, akan membuat budaya melanggar semakin akrab dan melekat dengan keseharian masyarakat. Sudah menjadi pemandangan yang umum di lampu-lampu merah di Jakarta, saat petugas membiarkan saja para pengendara menerobos lampu merah, menaikkan kendaraannya pada trotoar, atau berhenti bukan pada tempatnya.

Sejatinya, teori pelajaran agama, budaya, dan moral yang telah didapat anak-anak di sekolah, akan sejalan dengan apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata setiap hari. Bila pelajaran di sekolah mengajarkan pentingnya kebersihan, disiplin, dan toleransi, akan menjadi sebuah ironi saat di kehidupan nyata si anak melihat prilaku masyarakat dewasa termasuk orang tuanya, yang senang membuang sampah sembarangan, tidak mau mengantri, dan bertindak semaunya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Apabila prilaku dan budaya yang tidak baik ini terus dilakukan, saya khawatirbangsa Indonesia tidak bisa maju dan semakin tertinggal dengan bangsa lain. Semoga kedepannya akan terjadi perubahan yang lebih baik terhadap budaya masyarakat Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan.

[caption id="attachment_365804" align="aligncenter" width="477" caption="Budaya antri masyarakat Jepang saat menunggu bus di halte ketika hujan turun. Foto by Junanto Herdiawan"]

1413073150687495364

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline