Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Catatan dari "Safari Sastra dan Teater"

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Target kegiatan untuk menghadirkan minat sastra dan teater bagi kalangan siswa di Majalengka boleh dianggap cukup berhasil. Dari sejumlah pertemuan yang senantiasa diisi dengan pementasan teater Yang Tak Sampai, karya penulis naskah/sutradara Hikmat Gumelar, oleh kelompok Teater Nalar Jatinangor dan pembacaan puisi karya para sastrawan yang tergabung dalam Komunitas Sastra Majalengka (KSM), muncul kesadaran bahwa bersastra dan berteater itu mengasyikkan. Amatan ini disarikan dari tanggapan penonton dalam setiap diskusi setelah pementasan dan pembacaan puisi usai.

Dari proses yang berlangsung mulai 13 s/d 15 Juli dalam paket bertajuk Safari Sastra dan Teater ini, ada beberapa catatan yang dipandang layak untuk dibagikan pada khalayak, terutama parapihak yang ada keterhubungan dengan sastra dan teater.

Dalam diskusi setelah pementasan hari pertama (13/7) di SMAN 1 Majalengka, mencuat masalah pengertian puisi dan praktik apresiasi puisi dalam kegiatan belajar mengajar di ruang kelas. Menurut seorang guru, pengertian pusi yang ada dalam buku-buku teori sastra sepertinya jadi jungkirbalik saat ada seorang siswa yang menyodorkan sajak Sitor Situmorang, Malam Lebaran, yang hanya berisi satu baris: Bulan di atas kuburan. "Bagaimana menyikapi atau mengapresiasi puisi seperti ini untuk para siswa?" tanyanya.

Pertanyaan tersebut, juga sejumlah pertanyaan lain, mendapat porsi bahasan yang cukup lumayan saat berdiskusi dengan para guru dari Forum MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul, problem pengajaran dan apresiasi sastra di SMP dan SMA setidaknya bertumpu pada masalah kapasitas pengajar. Sejumlah guru secara terbuka menyampaikan, pada mulanya mereka kurang berminat pada sastra. Dan, proses pengajaran pun berlangsung sekadar memenuhi target kurikulum. Pada titik ini, para guru merasa kurang berdaya saat masuk pada materi apresiasi dan kreasi sastra di kelas. Kelanjutannya, situasi ini berdampak pada terhambatnya minat siswa terhadap sastra.

Komunikasi dan kerjasama dengan komunitas sastra kemudian menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi kebuntuan tadi. "Saya berharap, KSM dapat membuat program yang intesif di sekolah-sekolah. Syukur-syukur dapat mengadirkan para sastrawan agar para siswa dan guru dapat terjun langsung pada wilayah kreasi dan apresiasi," harap seorang guru dari SMAN 2 Majalengka.

Harapan serupa dibidang teater muncul pada hari kedua (14/7), saat berdiskusi usai pementasan Yang Tak Sampai di Pesantren Al-Mizan Jatiwangi, setelah sebelumnya hadir di SMAN 1 Jatiwangi. Fauziyah, seorang guru kesenian, berharap di sekolahnya bisa terbentuk kelompok teater. Harapan ini dibenarkan Dewi, seorang siswi kelas 2, dan dua temannya. Para siswa ini menampakkan kemampuan apresiasi yang memadai atas pertunjukan yang baru ditontonnya. "Saya tertarik pada pementasan tadi. Biasanya kan kalau dalam teater ada obrolan satu sama lain. Yang ini mah tidak. Setiap pemain hanya terlibat dengan omongannya masing-masing. Pementasa jadi seperti gabungan monolog," paparnya. Sebuah apresiasi yang luar biasa, saya kira. Dan siswa tersebut langsung mendapat hadiah buku dari sastrawan Oom Somara de Uci, juru kunci penerbit Kemucen.

Kegiatan pada hari ketiga di SMAN 1 Maja lebih asyik lagi. Usai pementasan tidak ada diskusi. Para siswa langsung diajak terlibat dalam pengalaman teater melalui workshop singkat, 1 jam. Sekira 150 siswa, yang kemudian dibagi menjadi 6 kelompok dengan jumlah anggota yang berbeda, dipandu Hikmat Gumelar dan para pegiat Teater Nalar, diajak untuk memahami makna kerjasama yang merupakan salah satu karakteristik dasar berteater melalui sejumlah permainan. Ruang aula yang menjadi arena workshop jadi hiruk pikuk. Para siswa dan para pemandu terlihat seperti anak-anak kober dan para gurunya.

Luar biasa. Sejam berikutnya, dari masing-masing kelompok telah ada sebuah alur cerita, seorang sutradara dan sejumlah pemain. Kegiatan pun ditutup dengan enam pementasan karya para siswa, yang masing-masing berdurasi 3 - 5 menit. Kami betul-betul menikmati suasana ini: sebuah spirit teater telah lahir di sini!
**
Rangkaian kegiatan Safari Sastra dan Teater sedianya dipungkas dengan pagelaran penutup bertajuk Malam Paseban Sastra pada 15 Juli malam di aula Dinas Porabudpar. Namun rupanya harus ada "partai tambahan". SMAN 1 Jatitujuh, melalui penyair Memet Rahmat Toev, meminta kami untuk singgah. Sungguh, permintaan ini tidak dapat kami tolak.

Ada yang luar biasa lagi. Antusiasme guru-guru dan siswa SMAN 1 Jatitujuh membuat dua ruang kelas yang disulap menjadi arena pentas tidak dapat menampung penonton. Pementasan pun menjadi dua sesi. Sungguh luar biasa stamina para aktor Teater Nalar ini. Sebagia imbalannya, setelah pementasan sesi kedua, mereka disuguhi pementasan musik dari Konser Kampung Jatitujuh. Hemm, mantap. Kami betul-betul menikmati safari ini. Cag!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline