Begitu membuka mata, hal pertama yang dilakukan kebanyakan remaja langsung mengambil ponsel. Membuka Instagram, scroll TikTok, mencari tahu apa yang baru dari teman atau selebriti favorit. Rutinitas ini sudah jadi bagian dari hidup mereka.
Bahkan, ketika di sekolah pun, obrolan yang tadinya tentang tugas atau kegiatan ekstrakurikuler sekarang lebih sering berpusat pada tren TikTok terbaru atau siapa yang paling banyak mendapat like di postingan terakhir. Remaja terus-menerus merasa harus mengikuti dan menampilkan kehidupan "sempurna" yang serba dipoles di dunia maya.
Di balik semua itu, ada tekanan besar yang jarang terlihat takut ketinggalan, minder melihat pencapaian orang lain, dan perasaan tak cukup baik karena standar kecantikan atau gaya hidup yang terus-menerus muncul di layar. Media sosial bukan sekadar hiburan, tapi bisa jadi cermin yang mengganggu pandangan mereka tentang diri sendiri.
Di Indonesia, kehidupan remaja sehari-hari sangat dipengaruhi oleh media sosial. Saat jam istirahat di sekolah, banyak siswa yang langsung membuka ponsel mereka untuk memeriksa Instagram atau TikTok. Mereka berusaha mengikuti tren terbaru, entah itu pakaian, lagu, atau gaya hidup yang dipamerkan oleh influencer.
Tekanan untuk selalu "update" dan mendapatkan like membuat remaja merasa perlu untuk selalu tampil sempurna, meski dalam kenyataannya, hidup mereka jauh dari gambaran yang ditunjukkan di dunia maya. Ini sering kali menciptakan rasa tidak puas dengan diri sendiri, bahkan stres karena merasa tidak bisa mengikuti standar yang terus-menerus berubah. Berbeda dengan kondisi di negara seperti Jepang, di mana remaja cenderung lebih mengutamakan kehidupan nyata daripada media sosial.
Di sana, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas produktif seperti belajar, olahraga, atau hobi di luar ruangan. Penggunaan media sosial pun lebih terkontrol. Banyak remaja Jepang yang tidak terlalu terobsesi dengan "likes" atau "followers" karena tekanan sosial dari media sosial tidak sebesar di Indonesia. Mereka lebih fokus pada interaksi langsung dengan teman dan keluarga, sehingga keseimbangan antara kehidupan online dan offline lebih terjaga.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, seorang remaja sering kali menyempatkan diri membuka Instagram. Ia merasa perlu melihat apa yang sedang "hits" di kalangan teman-temannya. Jika ada tren baru, seperti pakaian yang sedang populer atau tantangan TikTok, ia merasa harus ikut serta agar tidak dianggap "ketinggalan zaman". Ketika sampai di sekolah, obrolan teman-temannya tidak jauh-jauh dari hal yang mereka lihat di media sosial tadi malam.
Entah itu postingan selebgram yang baru atau konten lucu yang membeludak. Namun, ini membawa dampak buruk bagi remaja tersebut. Ia mulai membandingkan dirinya dengan apa yang dia lihat di media sosial. Teman-teman yang lebih sering liburan atau yang memiliki pakaian baru membuatnya merasa kurang beruntung.
Bahkan, ia mulai merasa tidak cukup baik dan minder hanya karena tidak bisa mengikuti gaya hidup yang dipamerkan di media sosial. Ketika tidak mendapatkan banyak "likes" di postingannya, rasa cemas dan kecewa pun muncul. Padahal, semua ini hanya terjadi di dunia maya, tapi dampaknya terasa nyata dalam kehidupan sehari-harinya.
Disisi lain, ada remaja lain yang lebih jarang menggunakan media sosial. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya bermain olahraga dengan teman-teman di lapangan setelah pulang sekolah. Dia juga aktif dalam kegiatan sekolah seperti debat dan teater.
Bagi remaja ini, media sosial hanyalah alat komunikasi untuk berhubungan dengan teman lama, bukan tempat untuk mencari validasi. Karena itulah, ia jarang merasa tertekan oleh tren media sosial. Kehidupan sehari-harinya lebih santai dan penuh interaksi nyata, sesuatu yang kini mulai langka di kalangan remaja.