Lihat ke Halaman Asli

Nanda Sholihah

Mahasiswa Pendidikan bahasa Inggris

Cerpen | Dzonn

Diperbarui: 8 April 2022   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ponselku bergetar, sebuah pesan whatsapp dari nomer yang tidak ku kenal masuk ke dalam daftar riwayat perpesananku. "Assalamu'alaikum." Tidak ada foto profil, namun kudapati sebuah keterangan nama pengguna , Albi Bahtiar!. Dia  teman dekatku, kita pernah akrab karena satu organisasi di sekolah, tapi pertemanan kita menjadi renggang ketika seseorang memberitahu bahwa ia menyimpan rasa padaku.

Sudah lama kami tidak berkomunikasi, tepatnya sejak kami berpisah untuk menekuni langkah masing-masing. Albi memilih menjadi penghafal Quran di salah satu pesantren di Semarang, sedang aku menekuni pendidikan di salah satu universitas ternama di Ibukota.

Aku merasa sungkan untuk membuka pesannya, sejak ia memutuskan menjadi penghafal Al-Quran, aku memilih menjauh darinya karena ku ingin dia hanya mencintai Al-Quran, tanpa dicampuri siapapun.

Tak segan-segan aku mengingatkannya untuk tetap dengan Al-Quran "Bi, lupakan aku, kamu harus bersungguh-sungguh menjaga Al-Quran, jadikan cintamu hanya Dia, jangan sampai keberadaanku di hatimu menghalagi kamu mendapat kebaikannya."

Kata-kata itu menjadi perpesanan terakhirku dengannya sekitar dua tahun lalu, tepat ketika ia pamit untuk pergi ke pesantren. Aku sering mendengar nasehat dari guru-guruku, bahwa Al-Quran sangat mulia untuk dijaga, maka ketika seseorang memilih untuk menjaganya, sudah sepatutnya ia menghempaskan kesenangan yang lain, apalagi kesenangan mencintai seseorang yang bukan mahramnya.

Selang beberapa lama setelah pesan itu masuk, aku tergerak untuk menjawab salamnya. Bukankah salam wajib dibalas?, akhirnya kubuka pesan itu untuk menjawab salam yang ia berikan. "Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh, maaf dengan siapa ya?." Aku memastikan seseorang yang mengirimiku pesan ini adalah temaku sendiri, bukan orang lain.

Tak sampai lima detik pesanku kembali dibalasnya, "ini Albi, Dinda apa kabar?." aku lega, ternyata benar. Haruskah aku membalas pesannya lagi karena ini sebuah pertanyaan, atau biar saja ku tinggalkan karena kedatangannya tiba-tiba di tengah ketenanganku seperti ombak yang menciptakan gemuruh.

Aku sedang tidak menyukai siapapun, juga tidak ingin memikirkan tentang kehadiran lelaki dalam hidupku. Aku memintamu melupakanku, bukan berarti ada yang lain di hati, aku masih sendiri hingga kini. Meski banyak lelaki yang datang padaku, aku belum bisa menerima mereka, kesibukan telah mengalihkan perhatianku tentang lelaki, apalagi aku masih menyimpan harapan semoga kita disatukan dalam ikatan suci, tentu setelah kau berhasil menuntaskan hafalanmu, aku siap menjaganya bersama-sama.  

Tak ingin larut dalam pertimbangan, segera ku balas pesannya dengan singkat. "Baik, alhamdulillah." Dengan harapan dia mengerti, dan tidak mengirimiku pesan lagi. Ternyata dugaanku salah, dia semakin bersemangat. Pesanku langsung terbalas sebelum ku tutup perpesanannya, "Bagaimana hafalanmu?."

Aku terpukul, menyadari hafalanku yang terabaikan, merenungi diri sendiri dan mengingat betapa semangatnya kami dahulu berusaha menghafal Al-Quran di sekolah. Aku melirik ponselku, ada pesan baru dari albi. "Kenapa? Kamu keberatan ya aku nanya gitu?."

Aku semakin malu. "Gapapa kok, seharusnya aku yang nanya hafalanmu Bi, hehe, gimana hafalanmu?." Tiba-tiba Albi menghilang, foto profilnya terhapus setelah nomernya ku simpan, status whatsappnya pun tidak lagi ku temukan, kenapa dia?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline