Lihat ke Halaman Asli

Nanda Firda

Bachelor of Constitutional Law

Pembagian Harta Gono-gini Perspektif Hukum Islam

Diperbarui: 28 Juli 2024   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan adalah sebuah lembaran awal mengenai adanya harta bersama. Harta bersama berawal dari kesepakatan dua pihak yakni suami dan istri. Harta gono-gini adalah harta yang dimiliki seseorang disamping kepemilikan pribadi, hal ini didapatkan Ketika menyandang status sebagai suami dan istri dalam ikatan pernikahan yang sah dimata hukum. Harta bersama dalam kamus besar bahasa Indonesia terdiri dari dua kata yaitu harta dan bersama. Harta artinya barang-barang, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang mengandung nilai didalamnya. Jadi, harta bersama adalah harta yang diberdaya gunakan secara bersama-sama demi kepentingan bersama. harta gono-gini adalah harta kekayaan yang didapatkan selama ikatan pernikahan terjalin dan diluar harta waris dan hadiah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, harta yang didapat selama terjalinnya ikatan pernikahan baik yang didapat secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri disebut harta bersama. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KUH) Perdata, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 bab VII tentang harta benda dalam perkawinan sebagai berikut:

1.         Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.

2.         Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri, serta harta benda yang di peroleh sendiri-sendiri sebagai hadiah dan warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing penerima, pihak lain tidak menentukan.

Dalam kitab-kitab fiqh klasik, harta gono-gini atau harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain bahwa harta gono-gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi.

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta gono-gini atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa, agama Islam tidak mengatur tentang harta gono-gini, oleh karena itu pembagian harta gono-gini diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli hukum Islam yang lain mengatakan bahwa, tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta gono-gini atau harta bersama, sedangkan hal-hal kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan dasar hukumnya. Tidak ada satu pun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Demikian menurut Prof. DR. H. Abdul Manan, SH., SIP., M.Hum dalam buku Aneka Masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama.

Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu karena masalah harta gono-gini baru muncul dan banyak dibicarakan dalam masa modern ini.

Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan oleh istri adalah harta miliknya.

Menurut M. Yahya Harahap, dalam Perspektif Hukum Islam tentang gono-gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rub'u mu'amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya 3 pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri. Tetapi ada pembahasan tentang kongsi yang dalam Bahasa Arab disebut syirkah. Karena masalah pencaharian bersama suami dan istri adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya maka perlu dibicarakan terlebih dahulu tentang syirkah yang telah ditulis dalam kitab-kitab fiqh, khususnya bab mu'amalah.

Zahri Hamid dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menyatakan, hukum Islam mengatur sistem terpisahnya harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam juga memberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum.

Senada dengan itu, Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam menyatakan, hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan, baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perseorangan yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan dan sebagainya, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu, tanpa adanya campur tangan istrinya. Demikian halnya bagi istri yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan suaminya. Dengan demikian, harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami dan istri.

Pendapat kedua pakar tersebut, tentu yang dimaksud bukanlah harta gono-gini, tetapi harta bawaan atau harta perolehan masing-masing pasangan suami dan istri, namun demikian, ketentuan hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami dan istri sebenarnya akan memudahkan bagi pasangan suami dan istri bila terjadi proses perceraian, karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline