Lihat ke Halaman Asli

Nanda Zakiyatul Aulia

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Moderasi Beragama: Membangun Kesehatan Mental Melalui Ragam Spiritual dalam Perspektif Psikologi Keberagaman

Diperbarui: 21 Mei 2024   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Indonesia dengan segala keberagaman keyakinan yang ada, moderasi beragama menawarkan panduan untuk hidup berdampingan secara harmonis. Moderasi beragama mengajarkan kita untuk mengarungi kehidupan dengan keseimbangan, menghindari ekstremitas yang dapat menenggelamkan jiwa-jiwa dalam kegelapan fanatisme dan intoleransi. 

Moderasi beragama bukanlah tentang menyatukan semua keyakinan menjadi satu, melainkan tentang menemukan titik temu dalam perbedaan, merangkai persamaan dari ketidaksamaan, dan merayakan keragaman sebagai anugerah ilahi yang memperkaya kemanusiaan. Moderasi beragama adalah jangkar yang menahan kita agar tidak terhempas jauh dari pantai kemanusiaan. 

Ia mengajarkan bahwa dalam kerendahan hati, kita menemukan kekuatan sejati, dalam toleransi kita menemukan kedamaian sejati, dan dalam cinta kita menemukan makna sejati dari keberadaan kita di alam semesta ini. Moderasi beragama hadir sebagai salah satu harapan bagi masa depan umat manusia, ibarat cahaya yang menuntun kita melewati lorong-lorong gelap ketidakpahaman.

Perilaku keberagaman dalam kajian psikologi dijelaskan bahwa pada setiap agama akan mengajarkan suatu kebajikan, akan tetapi pola keberagaman para pemeluknya yang menjadi pembeda. Tonggak pemikiran keberagaman dalam perspektif psikologi adalah bagaimana motivasi atau orientasi individu dalam menghayati agama yang dianut, apakah penghayatan tersebut bersifat secara intrinsik atau ekstrinsik. 

Menurut teori Allport (1996) orientasi intrinsik yang dimaksud adalah komitmen dan keyakinan pada masing-masing individu secara menyeluruh terhadap agama yang dianut dan melihat bagaimana dampak keyakinan tersebut mempengaruhi dari segala aspek kehidupan yang ia jalani. 

Orientasi ekstrinsik berbeda halnya dengan intrinsik, orientasi ini mengacu pada perilaku individu yang menggunakan agama hanya sebagai kekuasaan melalui partisipasi kelompok tertentu, orientasi ini juga bisa mengacu pada sikap individu yang berlindung terhadap agama untuk kepentingan tertentu, pelarian, status sosial, dan mekanisme pertahanan ego. Upaya mendeskripsikan keberagamaan juga dilakukan melalui tingkat kematangan beragama yang dimiliki individu. Tingkat kematangan ini merujuk pada prinsip bahwa perilaku beragama individu harus didasarkan pada nalar yang kuat dan moralitas berbasis nilai-nilai universal. 

Dover, Miner, dan Dowson (2007) mengajukan konsep kematangan beragama dalam empat dimensi, yaitu: (1) proses pencarian kebenaran melalui berbagai gagasan, informasi, dan paradigma (seeking truth); (2) integrasi iman dan nalar dalam menjalankan ajaran agama (faith and reason); (3) komitmen untuk melakukan refleksi terhadap keyakinannya (reflective commitment); serta (4) penerimaan terhadap temuan-temuan sains dan integrasinya dengan doktrin agama (science and religion). 

Dengan asumsi bahwa keberagamaan adalah proses dinamis dalam diri manusia, Maka upaya menjelaskan konteks keberagamaan harus terus dilakukan. Hal tersebut sangat penting karena setiap agama memiliki basis keyakinan dan pendapat yang berbeda-beda, yang dapat memengaruhi proses psikologis dalam penghayatannya. Sebagai contoh, konsep dimensi sakral dan profan dalam agama-agama Barat (Kristen, Yahudi dan Islam) tidak berlaku dalam agama-agama Timur seperti Shinto dan Kong Hu Cu. Perbedaan ini akan menghasilkan proses psikologis yang berbeda, sehingga pemahaman atau evaluasi konsep keberagamaan pada dua kelompok yang berbeda harus dilakukan dengan cara yang berbeda pula.

Kesehatan mental adalah keadaan di mana individu mampu mengatasi tekanan hidup sehari-hari, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitas mereka. Kesehatan mental yang baik ditandai dengan kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial. Dalam tahun-tahun terakhir, perubahan sikap terkait agama dari sisi psikologis yang pada awalnya bersifat negatif berubah menjadi fokus pada dampak positifnya terhadap kesehatan mental dan kualitas hidup seseorang. Konteks keberagaman saat ini bahkan dimasukan ke dalam konstruk yang sejalan dengan psikologi positif. Keberagaman spiritual merujuk pada berbagai bentuk dan ekspresi kepercayaan serta praktik keagamaan yang ada dalam masyarakat. Keberagaman ini mencakup agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, serta berbagai aliran kepercayaan dan spiritualitas lokal. Ragam spiritual dapat berpengaruh positif terhadap kesehatan mental melalui beberapa cara:

  • Dukungan Sosial: Komunitas keagamaan sering kali memberikan dukungan sosial yang kuat, yang merupakan faktor penting dalam kesehatan mental.
  • Makna Hidup: Agama dan spiritualitas memberikan makna dan tujuan hidup, yang membantu individu dalam mengatasi stres dan krisis eksistensial.
  • Praktik Ibadah: Praktik-praktik keagamaan seperti doa, meditasi, dan ritual dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan ketenangan batin.
  • Moral dan Etika: Ajaran agama sering kali memberikan pedoman moral dan etika yang membantu individu dalam membuat keputusan dan menghindari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Moderasi beragama berperan penting dalam membangun lingkungan yang toleran dan inklusif. Ketika individu merasa diterima dan dihormati dalam komunitas mereka, hal ini berdampak positif terhadap kesehatan mental mereka. Toleransi terhadap perbedaan agama dan keyakinan mendorong hubungan sosial yang harmonis sehingga mengurangi konflik yang dapat memicu stres.

Apa yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan mental di tengah keberagaman?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline