Tiada yang lebih menyedihkan di saat menyaksikanmu terkapar pasrah tak berdaya. Dalam keengganan waktu bangkit hulu unggah keterpurukan, menyeimbangkan titian di tiap langkahmu.
Runut dalam daksa, tuturmu ditemani secangkir kopi, bermain pedati laksana murka. Jangan urung diri penuh lara, mengusung batin kian menjelma paksa. Beranda itu menjadi bayang di kala gerimis mengusik hawa gemeretak.
Perjalanan panjang dengan simpulan teka-teki. Kisah manis terkadang mengundang konflik, riak kecil tak cukup luapkan tepian. Air mengalir menghempas bebatuan, begitu juga kamu yang frontal penuh intrik.
Intuisi seorang lelaki penyayang keras, melunak dan mengurung intensitas rindu. Siluet tentang kamu, bahasa tubuh dan aroma kepekatan masih menghidu. Tetaplah kokoh berdiri disini, menemani kisah dan perjalanan menembus putaran waktu.
Sandaran cinta, ungkapan karam masih lekat dalam pikiran. Kau genggam tiap ruas jemari menelusuri ujung kelentikan. Kau temui kebekuan tak senandung kala itu. Bongkahan baja mengeras penuh berkarat dan renjana usang.
Raga memucat dengan peluh dingin berpacu seirama dentang jam menatapmu tajam. Anila meniup ringan, hembusan cinta memperagakan kidung berkelindan. Menyatukan simpul rindu mengakar kuat tali temali.
Jangan memaksa diri mengungkap cerita tentangmu, biarlah mengurai bersama Anila dan eloknya pandangan langit sukar di definisikan. Bersiaplah menyambangi keputren putik labu siam, semakin mekar berwarna keemasan.
Rasa yang hilang bermuara, menata kisi-kisi. Dimana lagi kau temukan keindahan bersarang dalam atma ditepis jua.
Titi mangsa
Bireuen, 14 November 2022