Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi yang digunakan untuk berkomunikasi oleh rakyat di seluruh Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah, dijadikan bahasa utama dalam penulisan di media cetak maupun karya ilmiah, dan juga disiarkan di media elektronik maupun digital. Tetapi, bagaimanakah sejarah terbentuknya bahasa Indonesia hingga dapat menjadi bahasa nasional? Dan bagaimanakah perubahan bahasa Indonesia hingga menjadi seperti sekarang?
Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kemunculan bahasa Indonesia tidak lepas dari peran Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Beliau lahir di Pamekasan Madura pada 10 Oktober 1904 dan meninggal pada 12 Januari 1984.
M. Tabrani bekerja di harian Hindia Baru mulai Juli 1925, dan menerbitkan sebuah tulisan berjudul Kasihan pada 10 Januari 1926 sebagai gagasan awal untuk penggunaan nama "Bahasa Indonesia" yang merujuk pada kondisi nyata keberagaman masyarakat pada masa itu yang masih bersifat kedaerahan, serta masih mengutamakan kepentingan suku atau pun daerah masing-masing.
Pada Kongres Pemuda Pertama tahun 1926, M. Tabrani menolak butir ketiga dari usul resolusi Mohammad Yamin yang menyebutkan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Melayu.
Beliau bersikukuh kalau bahasa persatuan bukanlah bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Bila belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Pertama tersebut. Akibat dari perbedaan pendapat tersebut, maka keputusan ditunda hingga Kongres Pemuda Kedua pada 1928.
Pada akhirnya, bahasa Indonesia lahir dan dinyatakan sebagai bahasa saat Sumpah Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928. Ketika para pemuda dari berbagai pelosok nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda Kedua dan mengucapkan ikrar Sumpah Pemuda dengan unsur ketiga yaitu "Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.".
Namun bahasa Indonesia tidak serta merta dapat langsung dimasyarakatkan karena pada saat itu Indonesia masih dalam kondisi terjajah. Meski demikian, upaya untuk membenahi bahasa Indonesia dalam berbagai aspek mulai dilakukan. Momen terpenting pada masa setelah Sumpah Pemuda adalah diselenggarakannya Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada 25-27 Juni 1938 sebagai tindak lanjut dari Sumpah Pemuda 10 tahun sebelumnya.
Menurut buku karya Harimurti Kridalaksana yang berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia, Kongres tersebut digagas oleh Raden Mas Soedarjo Tjokrosisworo yang merupakan wartawan Soeara Oemoem dari Surabaya yang merasa tidak puas atas pemakaian bahasa Indonesia yang dianggapnya kacau dalam surat kabar karena bahasa Indonesia belum terkodifikasi sehingga belum ada patokan atau pedoman yang dapat dijadikan pegangan.
Pada masa itu penulisan bahasa Indonesia dengan huruf Latin dan bahasa-bahasa daerah lainnya di Nusantara yang mengacu pada ejaan va Ophuijsen. Soedarjo pun berembuk dengan Sumanang yang merupakan rekan sesama wartawan yang bertugas di Batavia dan mengusulkan pengadaan Kongres Bahasa Indonesia.
Sumanang yang menyanggupi hal tersebut kemudian berhasil membentuk sebuah komite yang beranggotakan kaum terpelajar, penulis, wartawan, dan para tokoh pergerakan nasional. Dengan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai ketua kehormatan, Dr. Poerbatjaraka sebagai ketua kongres dan Mr. Amir Sjarifuddin sebagai wakil ketua. Ada pun Maria Ulfah Santoso, Mohammad Yamin, dan Mohammad Tabrani sebagai personalia yang ditugaskan untuk merumuskan penyelenggaraan kongres.
KBI Pertama erat kaitannya dengan spontanitas dan diprakarsai oleh perorangan. Sebagian besar yang hadir pada KBI Pertama juga bukanlah ahli bahasa professional, melainkan para penulis dan wartawan pecinta bahasa Indonesia. Meski demikian, kongres tersebut berhasil mewujudkan cita-cita. Pada KBI Pertama itu, M. Tabrani menyarankan penyebaran bahasa Indonesia untuk melembangkan nama bahasa ini.