Bus Transjakarta yang saya nanti, tiba. Ketika saya masuk, semua bangku sudah terisi. Saya memasang kuda-kuda: ransel digendong di dada, kedua tangan terentang ke atas, memegang sabuk pengaman dan kedua kaki dilebarkan.
Sedetik kemudian, laki-laki muda berkacamata dan berambut keriting kemerahan yang duduk di hadapan saya, berdiri. Ia mempersilakan saya duduk. Kemungkinan besar, ia iba lantaran ransel saya terlihat berat.
“Terima kasih,” saya menyambut tawarannya dengan sukacita.
Separuh perjalanan telah terlewati. Kesibukan saya mengecek pesan yang masuk ke HP sudah selesai. Tiba-tiba, mata saya menangkap sosok seorang laki-laki yang berdiri.
Jarak ia berdiri, dua bangku di sebelah kanan saya. Rambutnya belum beruban. Tapi, wajahnya yang tirus, membuat ia terlihat tua. Kulitnya tak kencang lagi. Urat-urat di tangannya tampak jelas lantaran hanya berbalut lapisan tipis daging tak berlemak. Matanya cekung.
Saya menatap ke arah bawah. Celananya kedodoran. Kakinya hanya beralaskan sandal.
Setengah berdiri, saya mencolek bahu laki-laki itu. “Duduk, Pak.”
Dengan antusias, ia menerima tawaran saya dan segera duduk. Dalam waktu singkat, ia terlelap, melepaskan rasa kantuk dan lelah yang mendera.
Sambil berdiri, saya merenung. Seseorang memberi saya tempat duduk. Kemudian, tiba giliran saya memberi tempat duduk kepada orang lain.
Memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih membutuhkan, memang bukan tindakan heroik, seperti yang dilakukan para pahlawan kita yang gugur tertembak peluru musuh demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa atau Spiderman atau Superman yang menolong orang dalam elevator yang sedang meluncur kencang menuju tanah.
Memberikan tempat duduk hanyalah hal sepele, remeh-temeh. Namun, bagi saya pribadi, tindakan itu menunjukkan kita dihormati dan diperhatikan oleh orang lain. Dan sebaliknya, kita menghormati dan memperhatikan sesama.
Hidup masa kini yang sarat nilai-nilai kompetitif, memupuk individualisme. Kita lupa, sang Pencipta menciptakan kita sebagai makhluk sosial. Kita tak bisa hidup tanpa orang lain. Kita memerlukan orang lain. Mulai dari dalam kandungan hingga detik ini, hidup kita bisa berjalan karena ada sumbangsih orang lain, besar atau kecil.
Kita telah menerima bantuan orang lain. Apakah yang akan kita lakukan sesuai kemampuan kita, untuk menolong orang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H