Lihat ke Halaman Asli

Nirwana Hidayati

nulis salah satu katarsis

Hijrah Sosial Bukan Hijrah Lifestyle

Diperbarui: 26 Januari 2020   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat maraknya orang berhijrah baik dalam hal keseharian yang mulanya punya kebiasaan buruk sampai berhijrah dalam hal fashion. Ini marak terjadi dan sering kita temui dilingkungan kita. Terutama berhijrah dalam hal fashion bagi umat muslim perempuan, yang dulu tidak berhijab sekarang daji berhijab bahkan ada tuntutan untuk menggunakan hijab syar'I yang menutup seluruh tubuh dengan pakaian yang lebar dan besar namun feshionable.

Para perempuan yang menyatakan dirinya berhijrahpun harus mengikuti trend feshion hijaber. Model gamis jaman dulu memang cuma terlihat seperti menggunakan daster namun itu sudah syar'I, dan sekarang dengan perkembangan zaman muncullah trend fashion ala hijaber syar'I dengan berbagai model.

Dan fenomena sosial kita dengan dunia feshion sangat marak bah membludak bukan hanya dari kalangan hijaber saja namun pada umumnya perempuan. Bahkan bisa setiap bulan sudah berganti model baju yang ditawarkan oleh para desainer baik melalui butik atau toko-toko baik online dan konfensional. Dari satu sisi ini menguntungkan bagi dunia usaha feshion tapi dari satu sisi lingkungan sosial yang dari golongan kelas menengah kebawah ini justru menjadi fenomena yang saya anggap momok.

Karena esensi berhijrah itu berubah dari yang tidak baik menjadi baik, bukan berubah untuk menjadikan ajang fashion show di arena pengajian dan PKK tingkat RT. Karena sekarang sebagai umat Muslim sepertinya hal yang umum menggunakan hijab namun tidak seperti dulu esesnsinya adalah menutup aurot bukan model fashion terbaru dan beli dimana. Yang akhirnya pergi ke pengajian diskusi sendiri tentang feshion hijaber dan pergi ke PKK RT tidak mendengarkan sosialisasi tentang kemajuan desanya namun asyik ngrumpi beli bajunya disana, sekarang modelnya kaya begini.

Nah pada umumnya perempuan terkadang suka tergiur dan mudah terpengaruh dengan hasil rumpiyan seputar feshion yang dikatakan harus modis dengan dalih "biar suami kita tidak selingkuh". statement itu yang kemudian merasuki hati para perempuan untuk mengikuti gaya hidup temannya tersebut, yang lalu tergiur untuk membeli baju-baju yang sebetulnya tidak menjadi kebutuhan pokok.

Karena masih banyak kebutuhan pokok yang mungkin belum dipenuhinya sebagai menteri keuangan keluarga kan harus memplot uang ini untuk SPP anak, uang ini untuk kebutuhan bulanan dll. Yang akhirnya hal tersebut jadi diabaikan karena harus memenuhi jadi hijaber yang fashionable atau harus jadi perempuan gaul yang fashionable.

Sampai pada suatu ketika dia tidak berangkat pengajian lagi karena tidak beli baju yang sama dengan teman-temannya, tidak lagi berangkat PKK karena tidak beli baju baru. Ini temuan kecil tapi berefek besar pada fenomena sosial yang mengatasnamakan hijrah dan salah kaprah karena setengah-setengah memahaminya.

Fenomena akan semakin melekat pada diri perempuan yang haus akan fashion yang hanya karena biar dibilang feshionable. Dan kalau diterus-teruskan akan menjadi dampak negatif dilingkungan keluarga. Kalau dalam seputar rumpiyan PKK kita harus modis biar suami ga selingkuh ini malah bisa jadi hantaman balik bagi para ibu-ibu gaul tersebut.

Karena sebagai menteri keuangan keluarga kalau tidak bijak mengelolanya bisa hancur antah berantah. Sudah banyak kasus yang ada dilingkungan sekitar kita, terjadinya perceraian karena numpuknya hutang yang disebabkan sang menteri keuang keluarga tidak bijak dalam mengelolanya. Para peneliti sosial mungkin bisa melakukan riset ini.

Esensi dari berhijrah yang hanya dimaknai sebagai perubahan dari yang dulunya tidak berjilbab menjadi berjilbab tidak sebagai perubahan yang dulu tidak baik menjadi baik. Hijrah yang saya sebut hjrah sosial ini adalah adanya perubahan dalam kebaikan yang tidak berhijab jadi berhijab yang dulu tidak suka bersosialisasi dilingkungan sekitar baik pertemuan warga ataupun kajian-kajian keagamaan jadi mau hadir untuk mendengarkan dan memberikan pendapatnya walaupun dalam sudut pandang berbeda(dalam setiap kajian).

Bukan lantas dimakanai sebagai hijrah life style yang harus mengikuti model feshion terbaru untuk menghadiri setiap acara apapun. Fenomena perceraian yang disebabkan salah kaprahnya memaknai hijrah ini sudah banyak terjadi dilungkungan sekitar kita, dan terjadi dilingkungan kelas menengah kebawah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline