Aku suka membaca sejak kecil. Naluri ini, awalnya ku kira alamiah. Aku bisa dengan ringan mengambil sobekan kertas di jalan, atau membaguskan koran bekas bungkus kacang, untuk kemudian dibaca.
Tapi kini aku sadar, kealamiahan itu lebih karena tekanan ekonomi, yang membuatku tak mampu membeli buku, dan bilik kesadaranku merespon dengan menghargai kehadiran sobekan kertas itu. Tak heran sehabis membaca sobekan koran itu tanganku terasa pedas, karena sebelumnya harus membersihkan sisa cabai yang masih melekat di koran, atau tanganku bau karena harus memindahkan dulu terasi dari bungkusnya.
Dan begitulah, suatu hari aku menemukan 'jimat' dari kelusuhan itu. Sebuah buku tulis merk "leces" lusuh kutemukan dari sudut rak lemari. Masih aku ingat, buku leces itu bersampul ungu. Warnanya sudah pudar, ringnya rapuh, dan sudutnya telah habis dimakan rayap. Buku itu milik Bapa. Awalnya aku menduga, buku itu catatan tagihan pajak atau denda iuran kerja bakti. Maklum Bapaku seorang 'abdi negara'. Jabatan Ketua RT 13 RW 06 Dusun Rimpaknangsi, Desa Hanum, disandangnya lebih dari 8 tahun. Tanpa gaji dan uang pesangon.
Rupanya dugaanku salah. Nyatanya buku itu adalah buku diary dan otobiografi pribadi Bapa. Ditulis dengan menggunakan ejaan lama, dan gaya penulisan khas orang tua lulusan Sekolah Rakyat tahun 50-an. Hmm... Rupanya bapaku pembaca dan penulis juga!
Satu hal yang kukagumi dari buku itu, aku tertarik pada catatan bapa yang menceritakan kisah "Ramayana" dan "Mahabharata atau Bharatayuda". Ditulis dengan menggunakan gaya pupuh kinanthi, asmarandhana, dangdanggula, pangkur, sinom, dan lainnya.
Begitu tertariknya aku dengan kisah itu, sampai akhirnya kuminta buku itu dari Bapa. Sambil tersenyum Bapaku bilang, "Silahkan Nak, kau ambil saja buku itu! Bahkan kalau kau mau, akan bapa dongengkan kisah kepahlawanan itu, asalkan kau mau mijitin kaki Bapa lebih dulu". Aku bersorak. Girang tiada tara!
Maka sejak malam itu, tiap malam jelang tidur, aku selalu dinina-bobokan Bapa dengan kisah keperkasaan Hanoman dalam epos Ramayana, kegagahan Bima dalam Mahabharata dan Bharatayuda, keshalehan Sukrasana dan kepicikan Somantri dalam Arjuna Sastrabahu, peperangan antara Pajajaran dan Galuh dalam legenda Aria Banga dan Runcangrarang(Ciung Wanara), kejahatan Purbararang atas Purbasari dalam cerita Lutung Kasarung di kerajaan Pasir Batang, kisah si Kabayan ngala roay, si Kabayan ngala tutut, dan kisah fabel lainnya. (Kelak, buku diary Bapaku itu menjadi "jimat" dan salah satu koleksi buku milikku dan menginspirasi jalan hidupku).
Setelah buku roman, perkenalanku dengan buku lainnya dimulai. Suatu malam, saat mencari obat nyamuk di atas lemari, kutemukan sebuah novel. Judulnya "Kutunggu di Pintu Neraka" karya Bastian Titto. Kukira buku itu tak boleh dibaca anak kecil, karena letaknya yang di atas lemari, dan tak pernah menjadi bahan ceritaan Bapa kalau mendongengiku saat malam. Tapi setelah aku baca dengan agak sembunyi, ceritanya tak ada yang layak disembunyikan. Cerita silat tentang kependekaran Wiro Sableng, muridnya Shinto Gendeng dari Gunung Gede, dalam membasmi kejahatan yang ditimbulkan oleh Pangeran Matahari.
Setelah membaca buku itu, aku menjadi liar. Buku-buku serial Wiro Sableng dan cerita silat lain kiriman dari kakakku, Ka Eko di Bandung, tak pernah lalai kupacari. Maka aku pun berkenalan dengan Bidadari Angin Timur, Puti Andini, Luh Rembulan, si Raja Tidur, Tua Gila dari Andalas, dan tokoh antagonis lainnya. Beberapa karya Kho Ping Hoo pun berturut-turut aku tamatkan, serial "Si Pedang Tumpul", "Rajawali Sakti", "Tangan Geledek", "Naga Racun", sampai "Perawan Lembah Wilis". Dan kecerdasan anak-anak dalam "Lima Sekawan", Sapta Siaga, sempat aku gagahi.
Selain itu, perpustakaan sekolah SDN Hanum 1 pun tak luput dari arena tempat ngerumpiku. "Katak Hendak Jadi Lembu", "Tak Putus Dirundung Malang", dan "Hulubalang Raja" dari Nur Sutan Iskandar, "Tenggelamnya Kapal Vanderwijk", dan "Kembali ke Desa" karya Hamka. Aku pun ingat, nyaris seluruh karya pujangga angkatan 1920-an telah aku baca, dari Abdul Muis, Marah Rusli, sampai Sutan Takdir Alisyahbana. "Siti Nurbaya", "Kasih Tak sampai", "Perawan di Sarang Penyamun" kulahap habis. Tak tahu apa sebabnya, masa SD-lah aku dapat membaca khazanah sastra Indonesia dengan sempurna.
Masa remaja di SMPN 1 Dayeuhluhur, karena kesibukanku main drama theater dan pramuka di ekstrakulikuler, bacaanku tidak berkembang. Aku hanya menjadi pembaca yang tunduk pada Karl May dan Enid Bluton. "Petualangan Winnetou di Padang Prairi" sampai ke "Pelosok-Pelosok Balkan" begitu menghipnotisku, mampu membuatku melupakan jam istirahat. Tapi jangan dikira aku memiliki buku-buku itu. Tidak! Aku hanya membaca, hasil 'mencuri' dari koleksi buku milik Ka Ceceng, kakakku!