Lihat ke Halaman Asli

Jepang Tidak Bisa Kesampingkan Energi Nuklir

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jepang adalah negeri yang merasakan secara langsung dahsyatnya bom nuklir di akhir Perang Dunia II. Ribuan nyawa melayang, menderita luka, cacat seumur hidup, bahkan mungkin kelainan genetika yang dapat menurun kepada anak cucu. Hiroshima dan Nagasaki porak-poranda rata dengan tanah, dan meninggalkan kontaminasi zat radioaktif yang sangat berbahaya.

Jepang adalah negara yang mewarisi semangat para samurai dan ninja, maka Jepang langsung bangkit untuk kemudian menjadi negara yang paling maju di kawasan Asia. Kemajuan Jepang tidak bisa dilepaskan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong sektor industri berkembang dengan sangat pesat. Industri Jepang yang tangguh didorong oleh ketersediaan dan kecukupan energi listrik.

Secara alamiah Jepang merupakan negara dengan keterbatasan sumber daya energi. Untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri, awalnya Jepang mengandalkan impor minyak bumi dari Timur Tengah. Di samping itu, Jepang juga banyak mengimpor batubara dan gas alam dari negara lain, seperti Australia dan Indonesia. Pada awal tahun 1970-an, komposisi penggunaan energi Jepang meliputi minyak bumi (60,8%), batubara (6,6%), gas alam (3,1%), dan sumber lain (29,4%)(ANRE – METI, 2010).

Krisis minyak bumi yang menimpa dunia pada tahun 1973 berdampak kepada industri dan pertumbuhan ekonomi Jepang karena ketergantungan yang tinggi terhadap minyak bumi dari Timur Tengah. Peristiwa ini menyadarkan Jepang untuk merumuskan kembali kebijakan energinya dengan mengurangi ketergantungan impor sumber daya energi dari negara lain. Langkah yang ditempuh diantaranya peningkatan penggunaan gas alam dan kebijakan go nuclear. Pada tahun 2008 komposisi bauran energi Jepang meliputi minyak bumi (19,5%), batubara (15,7%), gas alam (25,1%), nuklir (20,1%), hidro/geothermal/energi terbarukan (8,9%), dan sumber lain (10,7%)(ANRE – METI, 2010).

Kontribusi nuklir terhadap penyediaan listrik Jepang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jepang bahkan menjadi negara terkemuka dalam penguasaan teknologi nuklir. Hingga awal tahun 2011, Jepang mengoperasionalkan sebanyak 54 PLTN dengan kapasitas produksi energi listrik sebesar 47,5 GWe (30%). Kebijakan energi Jepang yang ditetapkan pada tahun 2010 terus mendorong peningkatan kontribusi nuklir hingga mencapai 50% dari kebutuhan listrik di dalam negeri pada tahun 2030 (ANRE – METI, 2010).

Kejadian kecelakaan nuklir yang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi akibat terjangan gelombang tsunami yang terjadi 11 Maret 2011 merupakan tragedi kecelakaan nuklir terparah setelah kecelakaan nuklir Chernobyl tahun 1986. Perisitiwa tersebut membangkitkan sentimen kelompok anti nuklir di dalam negeri Jepang yang kemudian menuntut untuk dihentikannya semua program nuklir Jepang. Atas dorongan publik tersebut, dan rekomendasi dunia internasional (melalui International Atomic Energy Agency, IAEA), Jepang melakukan serangkaian kajian keselamatan terhadap semua struktur, sistem dan kompenen semua instalasi nuklir yang tengah beroperasi, dikenal sebagai stress test.

Pasca kejadian kecelakaan Fukushima Daiichi secara bertahap PLTN yang beroperasi di-shut down untuk menjalani stress test. Hingga tanggal 5 Mei 2012, 54 PLTN yang dimiliki Jepang  semuanya tidak beroperasi dan menjalani kajian mendalam terhadap sistem keselamatannya. Hal ini tentu saja menyebabkan terjadinya pengurangan pasokan listrik yang sangat signifikan. Kondisi ini mendorong dilakukannya langkah penghematan energi secara besar-besaran, bahkan pernah dilakukan pemadaman secara bergilir.

Kebijakan energi yang baru tengah dirumuskan sebagai respon terhadap kejadian Fukushima Daiichi 2011. Program nuklir ke depan sangat rentan terhadap protes dari berbagai kelompok, maupun masyarakat secara umum. Kelompok anti nuklir mendorong aspirasi untuk mengurangi, bahkan menghentikan operasional dan pengembangan nuklir di masa depan. Namun demikian, pemerintah Jepang tentu akan sangat berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dengan berbagai pertimbangan, seperti ketersediaan pasokan listrik, dampak terhadap sektor industri, hingga pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas politik dalam negeri.

Apakah semua PLTN yang tidak beroperasi untuk menjalani stress test saat ini, akan seterusnya tidak dioperasikan kembali? Pemerintah Jepang menimbang bahwa kontribusi nuklir terhadap pasokan listrik dalam negeri tidak akan dengan mudah digantikan dengan sumber energi yang lain dalam waktu pendek. Bahkan atas permintaan Pemerintah Perfecture Fukui di bagian barat laut pulau Honsyu, Perdana Menteri Yoshihiko Noda telah memutuskan akan dioperasionalkannya kembali PLTN  Oi Unit 3 dan 4 per tanggal 16 Juni 2012 yang lalu.

Dioperasikannya PLTN Oi Unit 3 dan 4 menunjukkan bahwa Jepang tidak akan bisa dengan mudah mengesampingkan kontribusi energi nuklir terhadap pasokan energi listriknya. Sangat mungkin dalam waktu dekat, PLTN-PLTN yang lainpun akan menyusul untuk dioperasikan kembali, tentu saja setelah dipastikan bahwa sistem keselamatannya berfungsi secara handal, bahkan di-upgrade untuk mengantisipasi segala potensi ancaman bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami yang sering terjadi di negeri Matahari Terbit tersebut. Kepercayaan publik terhadap kehandalan penggunaan teknologi nuklir di Jepang merupakan tantangan bagi dunia industri nuklir dan para pemangku kepentingan terkait di negara tersebut.

Jakarta, 21 Juni 2012

Dimuat pada kolom Opini di Harian Republika, 26 Juni 2012 dengan judul Manajemen Nuklir Jepang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline