Baru saja saya selesai membaca buku “Hakekat Poligami dalam Islam” karya Drs. Humaidi Tatapangarsa. Kalau dilihat kondisi fisik buku dan penggunaan bahasa di dalam buku tersebut, sepertinya tergolong buku jadul. Namun, saya tidak dapat memastikan tahun berapa buku itu diterbitkan karena memang tidak tertera tahun terbitnya. Buku tersebut saya beli dari bazar buku bekas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 31 Desember 2014 (penghujung tahun 2014). Buku itu hanya dibandrol seharga Rp 4.000 saja. Bukunya tipis, hanya 100 halaman. Itu sudah termasuk lampiran UU PerkawinanRI, yang bagi saya tidak jadi soal jika saya melewatkannya. Jadi, saya bisa membaca pokok pembicaraan dari buku itu hanya dalam waktu beberapa jam saja.
Beberapa buku dan artikel tentang poligami sudah saya baca. Seringnya, saya membaca tulisan-tulisan dari kalangan yang dianggap liberal: tokoh-tokoh yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun tokoh-tokoh yang tidak tergabung tetapi pemikirannya dianggap liberal. Sudah umum diketahui bahwa salah satu agenda dari kalangan yang dianggap liberal ini adalah memperjuangkan kesetaraan jender. Lebih spesifik lagi, gerakan ini dikenal dengan sebutan kaum feminis. Kalangan ini menolak praktek poligami. Adapun tentang keterangan di dalam al-Qur’an yang membolehkan praktek poligami (QS. An-Nisa: 3) disikapi dengan cara melihat sejarah masyarakat Arab yang sebelumnya bebas memiliki istri berapa saja. Kemudian Islam hadir memberikan batasan serta hak-hak tertentu kepada perempuan yang dahulu tidak memiliki hak apa pun. Jadi, Islam sebenarnya mengarahkan ke monogami. Semangat Islam adalah monogami. Al-Qur’an menjelaskan bahwa syarat poligami adalah adil. Tetapi, keterangan dari ayat lain mengatakan bahwa manusia (laki-laki) tidak mungkin berlaku adil (QS. An-Nisa: 129). Maka, tertutup sudah kesempatan untuk praktek poligami karena syaratnya mustahil terpenuhi. Itulah pandangan dari kalangan feminis Muslim terhadap poligami.
Buku “Hakekat Poligami dalam Islam” ini cenderung mengambil sikap tengah: tidak sepenuhnya menerima atau menolak praktek poligami, melainkan mengatakan bahwa poligami adalah kondisi yang tidak wajar tetapi dibolehkan dengan serangkaian persyaratan yang sangat berat. Sebelum saya membahas lebih lanjut argumen yang dibangun di dalam buku ini, terlebih dulu saya ingin menjernihkan peristilahan, sebagaimana isi bagian pertama buku ini.
Poligami berasal dari bahasa Yunani, “poly” atau “polus” yang artinya “banyak,” dan “gamein” atau “gamos” yang artinya “kawin” atau “perkawinan.” Jadi, secara harfiah poligami berarti suatu perkawinan yang banyak (lebih dari satu). Di dalam kata poligami tidak ada makna tentang siapa yang melakukan perkawinan yang banyak itu, apakah laki-laki atau perempuan. Jadi, poligami adalah perkawinan yang banyak, baik itu laki-laki yang mengawini banyak perempuan, maupun perempuan yang mengawini banyak laki-laki. Kedua kasus itu sama-sama disebut sebagai poligami. Sementara, masyarakat umum terlanjur memahami kata poligami sebagai kasus laki-laki yang mengawini banyak perempuan. Kasus laki-laki yang mengawini perempuan lebih dari satu disebut dengan poligini. Sementara, kasus perempuan yang mengawini lebih dari satu laki-laki disebut dengan poliandri. Jadi, yang selama ini dipahami orang sebagai poligami sebenarnya adalah poligini. Isu yang disorot oleh kalangan feminis juga bukan poligami, melainkan poligini. Namun demikian, buku “Hakekat Poligami dalam Islam” tetap menggunakan kata poligami meskipun maksudnya adalah poligini, dengan pertimbangan bahwa masyarakat terlanjur memahami kata poligami sebagai kasus laki-laki mengawini perempuan lebih dari satu.
Praktek poligami bukanlah barang baru, melainkan sudah dilakukan sejak dahulu kala. Buku “Hakekat Poligami dalam Islam” membandingkan antara praktek poligami yang terjadi di dalam bangsa Israel, Persia, Arab Jahiliyyah, Romawi dan bangsa-bangsa yang mendiami berbagai daerah Eropa dan Asia Barat seperti bangsa-bangsa Thracia, Lidia dan Palasgia. Poligami yang ada di antara bangsa-bangsa tersebut berbeda jauh dari poligami yang ada di dalam agama Islam. Singkat kata, poligami yang ada di antara bangsa-bangsa itu sangat merendahkan derajat dan martabat kaum perempuan. Dikatakan demikian karena perempuan dianggap seperti barang yang bisa diperdagangkan atau diwariskan. Bahkan, beberapa suku di masyarakat Arab Jahiliyyah (misal: suku Quraisy dan Kindah) menganggap perempuan sebagai aib sehingga ada praktek mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Kemudian, Islam hadir dan merombak pandangan yang merendahkan perempuan itu. Islam mengajarkan bahwa peremuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki, perempuan berhak mendapatkan warisan, melarang pernikahan al-istibdla (mengawinkan istri dengan laki-laki unggul, biasanya kepala suku, dengan harapan memeroleh keturunan yang unggul), poligami dibatasi tidak lebih dari empat istri, itu pun dengan syarat-syarat yang berat. Pendek kata, Islam mengangkat derajat dan martabat perempuan yang sebelumnya direndahkan selama berabad-abad. Praktek poligami masih dibolehkan, tetapi dengan “aturan main” yang jauh berbeda.
Keadilan yang menjadi syarat berlakunya poligami ditafsirkan secara berbeda. Kalangan Muktazilah mengatakan bahwa keadilan yang menjadi syarat bagi poligami tidak hanya adil dalam memberi nafkah lahir dan nafkah bathin saja, tetapi juga adil dalam mencurahkan cinta kasih. Hal ini adalah di luar kemampuan manusia. Tidak mungkin manusia mampu membagi perasaan cintanya secara adil (sama rata) kepada istri-istrinya. Oleh karena itu, bagi kalangan Muktazilah satu-satunya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Sementara itu, mayoritas ahli fiqih dan ulama tidak memasukkan keadilan cinta kasih (yang merupakan perkara bathin) sebagai syarat poligami, asalkan si suami tidak pilih kasih sampai-sampai istri-istri yang lain tidak terurus nasibnya. Walhasil, keadilan yang demikian itu masih bisa diupayakan oleh manusia.
Muhammad Abduh, dengan melihat ayat 3 dan 129 surat Al-Nisa’, mengatakan bahwa meskipun agama Islam membuka jalan kepada poligami, tetapi jalan itu sangat disempitkan, sehingga seakan-akan poligami itu hanya dapat dibenarkan dalam keadaan darurat. Selanjutnya, buku “Hakekat Poligami dalam Islam” menjabarkan keadaan darurat tersebut, yakni: jika perkawinan tidak dapat menghasilkan keturunan, jika suami memiliki kemampuan seks yang tidak cukup untuk dilayani oleh satu orang istri, jika pada suatu tempat dan masa jumlah perempuan jauh lebih banyak ketimbang jumlah laki-laki.
Terus terang saya agak terganggu dengan penjabaran keadaan darurat yang kedua: jika suami memiliki kemampuan seks yang tidak cukup untuk dilayani oleh satu orang istri. Menurut saya, kondisi ini tidak bisa dijadikan alasan dibolehkannya poligami. Bagaimana jika pihak istri yang memiliki kemampuan seksual berlebih sehingga tidak cukup untuk dilayani oleh satu orang suami? Apakah itu bisa dijadikan alasan bagi istri untuk melakukan poliandri? Tentu saja kita keberatan dengan alasan tersebut. Sehingga, kekuatan seksual tidak bisa dijadikan alasan dibolehkannya poligami.
Kita tentu mengetahui bahwa Rasulullah Saw. juga melakukan poligami setelah istri pertama beliau (Khadijah) meninggal. Rasulullah Saw. melakukan poligami dengan sembilan istri. Dari sembilan istri tersebut, hanya satu istri saja yang dinikahi dalam kondisi perawan, yakni Aisyah. Sementara yang delapan istri dinikahi oleh beliau dalam status janda, yang kebanyakan sudah tua. Jadi, orientasi Rasulullah Saw. dalam melakukan poligami bukan orientasi seksual (pemuasah nafsu birahi), melainkan untuk menyantuni janda-janda sekaligus anak-anak mereka. Jika orientasinya seksual, sudah pasti beliau akan memilih gadis-gadis muda yang cantik.
Akhirul kalam, Islam ingin mengangkat derajat dan martabat kaum perempuan yang sebelumnya direndahkan selama berabad-abad. Poligami tidak selalu berarti merendahkan derajat dan martabat kaum perempuan. Pada kondisi-kondisi tertentu (kondisi darurat) poligami dibolehkan, dengan tetap mempertimbangkan kemashlahatan pihak suami dan pihak istri. Kita tidak bisa memberi jalan kepada poligami terlalu longgar, juga tidak bisa menutup sama sekali jalan kepada poligami. Semua disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang ada. Wallahua’lambishawab [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H