Lihat ke Halaman Asli

Solo yang Mengurban: Upaya Membangun Kreativitas Kota

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perihal jargon yang kerap dilontarkan walikota Surakarta Joko Widodo (Jokowi) bahwa Solo sekarang adalah Solo masa lalu, saya jadi harap-harap cemas. Berharap, sebab menyadari relevansi ungkapan lama yang menyebut bahwa sebuah negeri tidak dapat membangun masa depan tanpa mengenali masa lalunya. Namun di sisi lain saya juga merasa cemas mengingat betapa kaburnya sebuah rumusan untuk menakar hal-hal yang bertautan dengan masa lalu sebuah negeri, atau dalam tulisan ini, sebuah kota.

Kecemasan itu muncul mengingat betapa kondisi kota Solo perlahan-lahan semakin meng-urban layaknya kota-kota besar lain di Indonesia. Pada tanggal 19 November 2010, saya dikejutkan dengan sebuah acara bertajuk Solo Urban Fest. Diselenggarakan di Gedung Kesenian Solo (GKS), acara ini menjadi penegasan eksistensi sejumlah individu maupun komunitas yang intens bergerak di dalam bentuk kebudayaan dan seni urban. Begitu memasuki pelataran GKS, khalayak yang datang langsung disuguhi dengan aksi corat-coret dinding oleh Artcoholic (Jakarta), Horny Street (Jogja), dan As Decade (Jogja). Aroma cat semprot yang merebak tak mengurangi antusiasme untuk memadati ruang pameran. Mulai dari gambar, mural, graffiti, art toys, hingga foto; karya-karya itu menjadi representasi bahwa anak-anak muda di Solo telah menjadi bagian dari budaya urban, layaknya anak muda di kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta.

Di acara itu juga digelar gigs yang menampilkan band-band lokal dari skena arus-samping (cutting-edge) antara lain Scronk Lily Jumper, No Stereo Yellow, Electronical Destruction, serta Home Alone. Pemilihan band untuk mengisi line-up di gigs ini cukup menarik bagi saya. Dibalik asumsi yang terbangun bahwa musik arus-samping di kota Solo hanya melulu berisi band-band metal dan hardcore serta punk, nyatanya terdapat juga keragaman baik dari segi genre maupun sound. Scronk Lily Jumper memainkan lagu-lagu bernuansa shoegaze. No Stereo Yellow berhasil menyajikan permainan dengan sound-sound tebal penuh distorsi hanya dengan 3 orang personil masing-masing pada vokal, gitar, dan drum. Juga Electronical Destruction yang meramu musik electronik dengan duo vokalis yang tak henti-henti meracau sepanjang lagu.

Dengan tajuk “Kami Ada”, melalui acara yang digelar beberapa hari menjelang Urban Art Fest di Ancol, pegiat street art di Solo seperti Scrap, Cre 2, Senyum Manis, ZembStreet, Weast East, Urgasm Sistar Klan, Joy, The Bloker dan Sickness Comics mencoba menawarkan cara pandang alternatif terhadap stigma masyarakat bahwa graffiti hanyalah sekedar corat-coret. Upaya mewujudkan itu antara lain melalui lukisan mural di lokasi-lokasi strategis, salah satunya di sekitar lampu merah Manahan dengan melukis dinding yang sebelumnya hanya menjadi ajang corat-coret belaka. Bagi sebagian kalangan, upaya semacam ini mungkin dianggap terlalu mentah dan kurang terkonsep. Terlebih jika hanya sekedar menjadi ajang perebutan ruang-ruang khalayak lokal oleh berbagai komunitas untuk menegaskan eksistensi. Namun menyikapi rumusan tema yang diangkat, dua kata “kami ada” merupakan isu yang cukup serius. Benarkah ini sekedar upaya penegasan eksistensi semata ataukah juga menjadi semacam unjuk rasa terkait dengan kebijakan pemerintah kota terkait dengan isu-isu kesenian dan kebudayaan?

Setelah mencermati kalender acara kebudayaan Solo tahun 2011, tercatat setidaknya ada 30 acara yang seluruhnya berkait-kelindan dengan upaya pencitraan kota Solo sebagai kota budaya. Budaya dalam logika pemerintah tentu saja seluruh kegiatan yang menghidupkan slogan kota Solo sebagai spirit of Java. Maka selain acara-acara “lama” seperti Sekaten, Grebeg Sudiro, Grebeg Mulud, hingga Jumenengan Raja, terdapat pula acara-acara “baru” seperti Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music serta Solo International Performance Art yang konon menyedot anggaran pemerintah kota dalam jumlah yang tidak kecil. Yang perlu dicermati adalah seberapa besar manfaat yang diperoleh dari acara-acara gigantik semacam itu bagi masyarakat Solo? Terlebih jika kemudian hanya menjadi perayaan sesaat dimana warga kebanyakan tak mendapat dampak positif kecuali mendapat hiburan (yang belum tentu bisa diakses oleh kalangan menengah ke bawah) dan secara tidak langsung mendapat dampak negatif karena anggaran pemerintah terkuras untuk event-event semacam itu.

Alasan yang kerap dikemukakan adalah tentang pentingnya menjaga keberlangsungan seni tradisi sebagai aset kota. Tentu tak ada yang keliru dengan logika itu. Selama konservasi kesenian tradisi tidak dilakukan semata-mata demi pariwisata, melainkan karena di dalamnya ada tipologi tertentu yang harus dipertahankan dalam rangka memperkaya keragaman.Sebuah acara kesenian, karenanya tidak dilihat sebatas pada aspek perayaan belaka, namun juga menjadi ekspresi budaya setempat dalam menghayati ruang. Dengan logika tersebut, Solo sebagai sebuah kota yang meng-urban sepatutnya juga menerima kenyataan bahwa sebagian penghuninya menolak untuk mengais-ais tulang belulang di masa lampau dan memilih untuk mengenakan identitas baru: diri yang meng-global, yang menyadari ketercerabutan dari tradisi sendiri dan berpijak kepada sesuatu yang dekat bagi mereka: budaya urban.

Dengan menerima perbedaan dan keberagaman, sebagaimana yang ditegaskan oleh Marco Kusumawijaya[2], maka suatu masyarakat telah melewati pemikiran multikulturalisme dan masuk dalam pemikiran inter-kulturalisme. Kita bukan hanya perlu menghormati keberagaman, tetapi juga secara aktif dan terbuka belajar dari orang lain yang berbeda dari kita masing-masing. Konsekuensi dari interkulturalisme adalah kebijakan yang bukan hanya melerai orang per orang atau kelompok per kelompok yang berbeda, melindungi dan mengakomodasi semuanya, tetapi juga mendorong interaksi antara semuanya. Dengan interaksi aktif semacam ini, diharapkan kreativitas terlahir. Setiap orang mengambil dan memberi, dan kemudian membawa pulang ke ruang pribadinya sesuatu yang lain lagi, hasil percampuran pemberian dan penerimaan itu. Memberikan berarti menawarkan apa yang mungkin bisa diterima, bukan memaksakan. Harus tersedia ruang untuk yang diberi, baik sebagai orang perorang maupun sebagai suatu kelompok budaya, untuk memproses tawaran itu secara bebas. Karena itu kreativitas suatu kota bukan hanya berarti creative industry atau creative city yang memproduksi barang kriya dan barang seni. Sebuah kota itu kreatif pertama-tama dalam arti mampu mengelola keberagaman yang interaktif sehingga semua warganya selaluproduktif “mencipta” dalam semua bidang dan tingkatan, dari nilai-nilai sampai produk material. Jika ini terwujud, tak perlu lagi ribut-ribut perihal mana yang lebih kuat di Solo: seni rupa-kah atau seni pertunjukan. Tak perlu pula saling tuding dimana yang tua menuduh yang muda sebagai anak tak tahu diri dan yang muda menggugat yang tua sebagai kolot.

-----

[1]http://gedungkeseniansolo.org/seni-urban-tak-sekedar-menapaki-ke”ada”an/
[2] http://mkusumawijaya.wordpress.com/2010/06/24/ruang-khalayak-dan-kebudayaan1/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline