Lihat ke Halaman Asli

[Ulasan Acara] Sharenigma #1: A Tales From New World Called D'ones IA

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Niat saja tidak cukup. Ungkapan ini menemukan relevansinya jika kita terapkan dalam hidup keseharian. Termasuk soal pertunjukan. Hari Minggu (15/5) di Gedung Kesenian Solo terselenggara sebuah acara pertunjukan dan diskusi musik bertajuk ShareEnigma #1. Acara ini menampilkan karya-karya Aditya Bagus Pradana yang mengangkat tema: A Tales From New World Called D'ones IA. Bertempat di studio 2 GKS, acara ini baru dimulai lewat pukul 21.00, mundur setidaknya satu setengah jam dari waktu yang diagendakan. Di panggung, duduk sepuluh orang membentuk formasi serupa bujur sangkar. Lagu pertama dibuka dengan hentakan drum yang rancak dari loop yang diputar melalui laptop. Berbarengan dengan itu, sejumlah foto dalam bentuk slide ditampilkan melalui layar putih yang terbentang di hadapan penonton. Uniknya, ketika Adit mulai bernyanyi, ia (dan seorang penampil lain) berada dalam posisi membelakangi penonton: suatu hal yang tak lazim kita dapati dalam sebuah pertunjukan musik. Tak ada jeda dalam pementasan ini. Ketika bagian pertama usai, segera disusul dengan permainan gitar tunggal oleh Adit dan segera disambung oleh para penampil lain sehingga menghasilkan komposisi ensemble gitar dengan harmonisasi bunyi yang apik. Di bagian kedua ini, Adit cukup berhasil dalam membangun komposisinya. Bermula dari petikan gitar tunggal bertempo lambat lalu perlahan bergerak semakin cepat dan rancak. Di bagian selanjutnya, format ensemble gitar dengan iringan loop ini tetap dipertahankan. Dalam waktu kurang dari 2o menit, penampilan ini pun usai. Seusai penampilan, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Dalam forum ini Adit menjelaskan konsep awal terlahirnya karya. A Tales From New World Called D'ones IA, menceritakan tentang kondisi dunia fantasi pasca kiamat dan hanya menyisakan segelintir orang yang masih hidup. Adit berperan sebagai seorang maharaja yang membangun sebuah dunia damai, dimana senjata tak lagi ada dan yang tersisa hanya dawai-dawai gitar untuk melantunkan seruan perdamaian. Di tataran konsep, apa yang berusaha disampaikan cukup menarik. Sayangnya konsep itu kurang tersampaikan karena kemasan yang buruk. Ekspektasi yang sempat muncul ketika loop mulai diputar di bagian awal lagu seketika runtuh dengan penyajian yang seadanya. Bayangkan saja, posisi pengeras suara dimana bunyi loop itu berasal, terletak di sebelah kanan tempat duduk penonton. Praktis saya seperti dihadapkan pada situasi sulit: menghadap ke depan berarti "terganggu" oleh suara loop atau menghadap ke pengeras suara tapi kehilangan pandangan ke panggung. Suara vokalis pun terdengar kurang jelas di telinga saya. Alih-alih menggunakan mikrofon, Adit justru menggunakan megafon saat menyanyi. Ini cukup mengganggu kenyamanan saat hendak menyimak lirik-lirik yang dinyanyikan. Belum lagi soal foto-foto dalam slide show yang terlalu dipaksakan karena gambar-gambar tersebut tak mampu membangun suasana. Maka wajar jika ditinjau dari segi pertunjukan, saya menganggap pementasan ini gagal baik secara audio maupun visual. * Dalam musik, album konsep (album yang disatukan melalui sebuah tema baik itu dari segi instrumen, komposisi, maupun lirik) sebenarnya bukan hal baru. Salah satu favorit saya adalah karya-karya Coheed & Cambria, sebuah band progresif rock asal New York. Band yang telah merilis lima album studio sejak 2002 ini berhasil menyajikan tidak hanya komposisi musik namun juga mampu membangun kesinambungan cerita melalui lirik. Nama Coheed & Cambria sendiri diambil dari nama tokoh protagonis dalam komik fiksi sains karya Claudio Sanchez, sang vokalis band tersebut. Bahkan Sanchez sendiri lantas merilis sebuah novel berjudul Years of The Rainbow (album dengan judul yang sama dirilis oleh Coheed & Cambria pada tahun 2010) yang menjadi semacam rangkuman dari cerita-cerita yang ada di album-album sebelumnya. Di Indonesia, salah satu album konsep favorit saya adalah Balada Joni & Susi oleh Melancholic Bitch. Album tersebut memuat fragmen-fragmen dalam kehidupan dimana sepasang kekasih bernama Joni dan Susi (dua protagonis dalam cerita tersebut) mengalami berbagai konflik serta kegelisahan khas masyarakat urban. Meskipun ada kesan kuat absurditas dalam lirik-liriknya (Ugoran Prasad, vokalis dan penulis lirik di Melancholic Bitch pernah menulis sebuah novel berjudul Etalase) namun keseluruhan lagu dalam album cukup berhasil merangkai suatu koherensi kuat antara musik dan narasi. Kalimat-kalimat di dalamnya bernas. Simak 7 Hari Menju Semesta, "Katakanlah jika/aku Israel kau Palestina/jika aku Amerika kau seluruh dunia/jika aku miskin kau Negara/jika aku mati kau kematian lainnya" atau dalam Mars Penyembah Berhala Ugo berteriak parau "Siapa yang butuhkan  imajinasi/Jika kita sudah punya televisi". Well, membandingkan penampilan yang saya lihat di GKS dengan band-band di atas mungkin berlebihan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah betapa sebuah ide atau konsep, perlu elaborasi maksimal agar setidaknya pesan di dalamnya bisa tersampaikan. Di sesi diskusi ini Adit sendiri mengakui ada banyak keterbatasan yang berujung pada penampilan seadanya. Tapi sungguh suatu hal yang cukup ironis ketika jargon yang dilontarkan adalah  keinginan untuk keluar dari stagnasi perkembangan musik di Solo. Sebagai penonton, wajar saya berharap untuk mendapatkan sajian yang menarik, terlepas tontonan itu gratis atau tidak. Pengelolaan sebuah acara yang mandiri tanpa melibatkan sponsor, bukan alasan untuk mengemas sebuah pementasan secara asal-asalan. Satu hal yang patut diacungi jempol adalah keterlibatan beberapa anak-anak SMA sebagai pengiring. Langkah tersebut dilakukan karena menurut Adit, "agar mereka tak sekedar menjadi komoditas." Setidaknya mereka bisa mendapatkan pengalaman baru dan tidak melulu menjadi epigon dari berbagai trend yang diciptakan industri musik dan media mainstream. Secara keseluruhan, program Sharenigma ini memang cukup menjanjikan. Melalui hiburan berupa pertunjukan musik dipadukan dengan edukasi melalui diskusi, program ini kiranya bisa menambah opsi bagi masyarakat Solo dalam memilih hiburan. Sehingga para penonton tidak hanya mencecap citarasa sebuah pementasan namun juga memahami ide atau gagasan yang melatarbelakangi penciptaan sebuah karya. Apakah hal ini bisa tercapai melalui Sharenigma? Mari kita tunggu edisi Sharenigma berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline