Pendidikan memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa, Pendidikan sangat menentukan arah dan kualitas sebuah kehidupan. Pendidikan seperti sebuah tiang yang kuat untuk menyangga kehidupan agar berjalan selaras tujuan kehidupan yang diinginkan. Meminjam ungkapan Ki Hajar Dewantara bahwa "Pendidikan tempat bersemainya benih-benih kebudayaan dalam masyarakat". Ungkapan itu semacam aforisme yang menghentak dan menyadarkan posisi pendidikan tidak bisa diksesampingkan dalam memajukan kehidupan.
Ki Hajar Dewantara, menawarkan sebuah gagasan besar dalam dunia pendidikan. Jiwa, raga, dan pemikirannya tidak bisa lepas dari dunia pendidikan negeri kita (Indonesia), bahkan dipercaya negara lain. Konsep besar yang sudah disusun jauh waktu, semasa perjuangan memiliki relevansi dalam konsep modern dalam membuat kualitas pendidikan yang baik. Baik artinya mampu menciptakan output produk yang diharapkan, dalam bersaing di tengah terjangan global.
Kurikulum merdeka yang saat ini tengah giat dibumikan dalam rumah pendidikan, ada gagasan dan pandangan besar Ki Hajar Dewatara di belakangnya. Konsep besarnya tidak lain adalah menciptakan pendidikan yang merdeka, artinya ada kebebasan, keleluasaan, dan kenyamanan di dalam dunia pendidikan. Pendidik/ guru menjadi peran sentral dalam mewujudkan itu semua. Merekalah aktor-aktor penting yang perlu dilatih, diasah, dan dikuatkan ketrampilannya untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar merdeka. Tidak yang menakutkan, mengkerdilkan pemikiran siswa, membatasi, dan menyamaratakan pemikiran siswa.
Ada sembuah analogi sederhana tetapi bermakna yang mampu mewakili peran guru dalam konteksnya aktor pendidikan, yakni Pak Tani. Seorang pendidik/ guru hakikatnya perannya sama degan seorang Pak Tani. Sedangkan murid dibaratkan bebih-benih yang siap di tanam. Benih-benih tersebut agar tumbuh subur maka Pak Tani perlu menanamnya di tanah yang subur, yang terbuka, dan cukup asupan matahari. Sama halnya seorang guru, jika ingin menciptakan siswa yang baik, maka perlu dipersiapkan tempat yang nyaman dan menyenangkan, tidak hanya tempat tetapi juga pembelajaran yang menyenangkan.
Analogi itu juga sekaligus mengajarkan tentang pemahaman bahwa pendidikan hanya suatu 'tuntutan'. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
Seperti penjelasan analogi Pak Tani di atas, bahwa Pak Tani tugasnya hanya menuntun tumbuh baiknya benih padi menjadi padi yang subur, benih jagung menjadi jagung yang subur, dan lainnya. Artinya Pak tani tidak bisa memaksakan benih padi menjadi janung yang subur, begitu juga benih jagung menjadi padi yang subur. Maka dari itu guru juga seperti itu, kodrat lahir yang sudah ada dalam anak perlu dipahami, sehingga peran guru menuntun, menempatkan ke jalan yang lurus.
Analogi itu juga selaras dengan konsep makna tiga dasa-jiwa yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, pertama memandang bahwa siswa seperti kertas kosong, kedua memandang siswa seperti kertas yang sudah penuh dengan tulisan, dan ketiga memandang siswa seperti kertas yang sudah penuh tulisan tapi masih kabur.
Ketiga dasar-jiwa ini penting dimakami secara keseluruhan, bahwa pemandangan mengenai siswa tidak selalu melihatnya seperti kertas kosong, yang seenaknya pendidikan masuki/ jajali pemahaman yang kita inginkan. Tapi pendidikan perlu melihat bahwa siswa sudah punya isi, tugasnya hanyalah mengarahan agar isi itu tidak terjun ke jalur yang salah, serta pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara seperti perpustakaan ilmiah. Merevitalisasi pemikiran KHD di tengah kemodernsasian menjadi semacam obat yang menyadarkan bersama. Ternyata sejauh ini pendidikan masih seperti penjara yang menakutkan dan membosankan. Tuntutan keahlian hanya diukur dari satu indikator tertentu, tidak melihat secara global, serta pembelajaran yang menghardik, mengkerdilkan kebebasan untuk berpendapat kerap di temukan di ruang-ruang kelas. Sehingga apa yang ada di dalam pemikiran anak justru mereduksi di tengah keterbatasan itu.
Setelah mempelajari pemahaman filosofi Ki Hajar Dewantara, kita (guru) tersadar betapa perlunya melakukan perbaikan, diantaranya; (a) menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, artinya tetap terarah sesuai tujuan yang ingin dicapai di setiap pembelajaran. Membuka ruang-ruang diskusi seluas-luasnya, sehingga siswa bisa bebas menggali gagasannya sedalam mungkin, serta menyuarakannya dengan bebas, (b) membuat kesepakatan kelas, langkah ini penting untuk dilakukan agar siswa tidak tertekan.