Lihat ke Halaman Asli

Nanang E S

Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

SLG Ajak Guru Bahasa Indonesia Melek Literasi

Diperbarui: 11 Oktober 2016   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ponorogo (09/10/16) –Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ponorogo kembali menggelar Gerakan Literasi massif yang kelima kalinya. Pertemuan hari ini merupakan pertemuan untuk angkatan kedua (Oktober), yang sebelumnya telah menyelesaikan pertemuan pertama (September) yang telah mengundang sastrawan Sandal Jepit (M.Faizi) dari Madura, Motivator Susilo Mursid, Novelis Ruwi Meita, Pelopor Literasi UNESA Much. Khoiri dan Nurani Soyomukti, penggiat Literasi Trenggalek.

Kali ini Sekolah Literasi angkatan kedua dihadiri sedikitnya 165 peserta dari berbagai kalangan; SMA/ Sederajat, umum, dan guru-guru Bahasa Indonesia se Ponorogo. Literasi angkatan kedua kali ini dibuka oleh tokoh litererasi J Sumardianta dari Yogyakarta dan tokoh jurnalis Herpin Dewanto dari Biro Kompas Jatim.

Pada sesi pertama, peserta diajak mengalir berdiskusi dengan J Sumardianta, yang sangat antusias datang jauh-jauh dari Yogyakarta ke Ponorogo untuk berbagi pengalamannya yang sudah lama bergelut dalam dunia literasi.

Bahkan penulis buku “Habislah Galau Terbitlah Move On”tersebut juga memberikan pandangan yang luas manfaat literasi dalam dunia pendidikan. Ia mengatakan guru itu ibarat koboy. Jika koboy kemana-mana membawa pistol, maka guru juga demikian kemana-mana harus membawa buku.

“Guru itu seperti koboy,  jika koboy kenana-mana membawa pistol untuk senjatanya. Bagaimana dengan guru, buku adalah satu-satu senjata yang harus dibawannya sebagai senjata saat beraksi di dalam kelas” Ucapnya di hadapan peserta yang memadati Graha Saraswati STKIP PGRI Ponorogo.

Hal tersebut disampaikan karena J Sumardianta telah menerapkan hal tersebut dalam profesinya selain sebagai penulis juga sebagai guru Sosiologi.  Dalam praktiknya ia selalu membawa buku-buku baru yang dipamerkan kepada siswanya, sebagai pancingan bahwa gurupun masih belajar. Ia juga menyampaikan tiga prinsip dalam mengajar.

“Tiga prinsip saya dalam mengajar adalah menemani, mendampingi, membela (tidak memembuat anak seperti dalam sel/ terkekang)”. Tuturnya.

Tidak itu saja, gelaran Literasi yang dicanangkan sebagai gerakan massif terbesar yang pernah diakui oleh Nurani Soyomukti, (pemateri keempat yang juga pelopor literasi Trenggalek) ini merupakan bagian dari agenda pengabdian STKIP PGRI Ponorogo kepada generasi. Untuk menciptakan budaya melek pengetahuan.

Dalam sesi kedua, materi diisi oleh Herpin Dewanto, tokoh liteasi yang bergelut sebagai jurnalis di media cetak Kompas. Dalam pertemuannya kali ini tokoh yang sangat kalem dalam menyampaikan materi tersebut senang bisa diundang bergabung dalam sekolah Literasi di Ponorogo.

“Saya sangat senang bisa berbagi pengetahuan di tempat ini, semoga bermanfaat untuk semuannya” Tutur lelaki yang pernah berjuang bersaing dengan 4.000 peserta saat mendaftar sebagai jurnalis itu.

Dalam kesempatan tersebut ia juga menjelaskan dengan detail perjalanan yang sangat keras menjadi seorang jurnalis yang ia cita-citakan sejak kecil. Membaca menjadi kebiasaan yang rutin dalam dirinya. Karena bagi seorang jurnalis membaca merupakan bagian yang sangat penting untuk memperluas wawasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline