"Barang siapa yang ingin menjadi guru, biarlah dia mengajar dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain. Dan biarkan ia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata...." (Khalil Gibran).
Setelah selesai upacara Hari Guru Nasional, 25 Nopember 2022 lalu, saya cepat masuk ke ruangan, untuk merenung sedikit, apakah saya sudah pantas untuk menyandang gelar guru sebagaimana yang dinyanyikan oleh tim paduan suara ketika menyanyikan hymne guru, "... Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa. Pembangun insan cendekia..."
Pikiran ini kemudian melayang jauh ke belakang menapak-tilasi perjalanan hidup sejak awal mengajar hingga kini menjadi guru di sebuah Sekolah Indonesia di Luar Negeri SILN). Pikiran itu terus membayangi dan bertanya hingga kini "Apakah saya sudah layak menjadi guru ideal atau bahkan hanya menjadi guru saja berdasarkan undang-undang, agama, atau budaya bangsa Indonesia".
Dalam Islam, kedudukan guru sangat mulia, bahkan Allah SWT Tuhan yang Maha Agung menjadikan Rasulullah SAW adalah seorang guru kemanusiaan yang tiada bandingnya, yang mengajar dengan keteladanan dan keagungan jiwanya. Karena pentingnya peran guru dalam kehidupan manusia, maka Islam mengenal beberapa term yang artinya merujuk kepada guru;
Ustadz, biasanya adalah orang yang mengajar di sekolah, madrasah atau pada lembaga pendidikan formal. Ada kurikulum dan mengikuti kurikulum, karena ini profesi resmi, maka dia terikat oleh kode etik profesinya.
Mualim berasal dari kata "ilm" yang berarti pengetahuan atau hakekat sesuatu. Seorang guru harus bisa menerangkan hakekat sesuatu kepada muridnya dengan gampang, jelas dan mudah dipahami. Seorang mualim tidak akan pernah menyalahkan muridnya apabila belum mengerti, karena memang tugasnyalah yang harus membuat muridnya mengerti dan memahami hakekat sesuatu.
Murabbi, berasal dari kata "Rab" yang berarti Tuhan yang Maha Mencipta, Maha Memelihara, Maha Mengatur dan Maha Mendidik alam raya ini. Kata ini mengandung Asmaul Husna yang Agung, maka guru dituntut agar bisa melahirkan muridnya menjadi kreatif, inovatif, dapat memelihara dan mengatur sesuatu. Agar dapat melahirkan murid yang diharapkan dari kata "Rab" tersebut, syarat utamanya adalah hendaklah seorang guru juga memiliki sifat-sifat Asmaul Husna seperti di atas dahulu, atau dalam bahasa lainnya seorang guru harus mengisi jiwanya dengan sifat-sifat ketuhanan "Uluhiyah".
Mursyid berasal dari kata "Rasyd" yang arti umumnya adalah transendan, uluhiyah, ketuhanan. Maka tugas guru di sini adalah bagaimana mendidik dirinya sendiri dan muridnya untuk selalu menghubungkan dirinya dengan Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Karena dengan terus menghubungakan diri ini dengan Allah SWT, kebahagiaan di dunia dan akherat akan bisa diraih.
Mudarris berasal dari kata "Darasa"yang secara akar kata berarti "terhapus, hilang, berkarya, melatih, dan mempelajari". Dari pengertian ini, maka seorang guru harus bisa menghilangkan, menghapus ketidak-tahuan muridnya dengan cara mengajarkan dan melatih dengan penuh keikhlasan. Karena pada hakekatnya yang dapat membuka pikiran dan hati seseorang adalah Allah SWT.
Muaddib, berasal dari kata "Adab" peradaban. Maka sejarah terus mencatat tiadalah peradaban muncul kecuali lewat tangan-tangan manusia yang terdidik baik formal, informal maupun non formal. Kesalahn guru ketika mendidik akan menghancurkan peradaban umat manusia. "Amma khotho' al Mu'alim fayasiiru 'ala al ardli" Demikian kata pepatah Arab "Adapun kesalahan guru, maka kesalahan itu akan berjalan dimuka bumi, dibawa oleh para muridnya kemanapun jua.
Ima al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad at-Tusiyy al-Ghazali. Sebagai seorang yang sangat jenius, Imam al-Ghazali mengalami beberapa fase pergulatan intelektual dan spiritrual, dari seorang fuqoha, Mutakalim (ahli ilmu kalam /Teologi), Filusuf hingga tasawuf. Kitab Ihya 'Ulumiddin merupakan kitab yang ditulisnya ketika beliau sudah menemukan dunia kedamaian batin (sufi). Karena keberanian dan kejeniusan beliau berargumentasi akhirnya beliau mendapatkan julukan hujjatul Islam. Dalam bukunya Ihya 'Ulumiddin beliau memberikan perhatian yang sangat serius tentang karakter yang harus dimiliki oleh seorang guru, karena guru akan mengantarkan muridnya kepada kehidupan yang abadi (akherat kelak). Karekter-karekter tersebut antara lain: