Lihat ke Halaman Asli

PT KAI Menyulitkan Pelanggan

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah penumpang setia angkutan kereta api (KA). Setiap bepergian antarkota, saya usahakan selalu menggunakan jasa angkutan KA ini. lebih cepat dan relatif nyaman. Pelayanan PT KAI juga semakin baik. Untuk saat ini, hampir semua gerbong dilengkapi dengan AC, meskipun untuk kelas ekonomi dan bisnis (yang dulu non-AC) ‘terpaksa’ menggunakan AC rumah yang dipasang di setiap gerbong. Selain itu, kondisi stasiun juga semakin baik, bersih, dan relatif nyaman.

Akan tetapi, PT KAI masih memiliki penyakit yang belum disembuhkan, dan ada beberapa kebijakan yang sangat merugikan penumpang. Penyakit tersebut adalah “KA hampir selalu datang terlambat”. Tidak ada alasan bagi PT KAI untuk mengatakan “keterlambatan 5 menit atau 30 menit masih bisa ditoleransi”. Tidak semudah itu PT KAI membuat pernyataan yang jelas telah merugikan penumpang. Meskipun terlambat 1 menit, tetap saja dikatakan terlambat. Dan bila ada KA terlambat, pihak PT KAI dengan mudahnya mengucapkan kata maaf melalui pengeras suara di stasiun tanpa memberikan kompensasi apapun bagi penumpang yang telah menunggu lama, entah itu diberikan snack atau makan, atau bahkan pengurangan bea tiket.

Padahal, bila “logika keterlambatan” ini kita balik, bila ada penumpang yang terlambat datang ke stasiun, meskipun hanya 30 detik atau 1 menit, apakah PT KAI akan menunggu penumpang tersebut? Atau, lebih ekstrim lagi, apakah bila ada penumpang yang terlambat, PT KAI memberikan kompensasi, dan kesalahan penumpang ‘bisa dimaafkan’?

Hal yang fatal adalah ketika penumpang menggunakan KA dengan sistem persambungan antar-KA. Bila KA pertama datang terlambat, secara otomatis, penumpang akan tertinggal KA berikutnya. Padahal tertinggalnya penumpang tersebut bukan disebabkan kesalahan dirinya. Namun tetap saja tidak ada kompensasi bagi si penumpang.

Ini adalah cara kerja kapitalis yang selalu berorientasi untuk menguntungkan diri sendiri. Dalam hal ini penumpang diposisikan sebagai pihak yang dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan.

Area stasiun KA juga relatif steril dari para calo yang dulu biasa berkeliaran di peron stasiun dan menghabiskan ratusan tiket yang dijual melalui loket. Namun ternyata, sterilisasi calo ini ditempuh dengan cara yang sangat merugikan penumpang.

Pertama, alih-alih membebaskan penumpang dari antri di loket, PT KAI membuka peluang membeli tiket secara online atau melalui agen yang telah ditunjuk. Masalahnya muncul ketika PT KAI memberikan biaya tambahan bagi penumpang yang membeli tiket secara online melalui www.kereta-api.co.id. Hhal ini menunjukkan aturan “kalo tidak ingin antri, ya Anda harus bayar lebih lewat tiket online”. Menurut pandangan saya, bila PT KAI punya itikad baik untuk memudahkan penumpang agar tidak perlu mengantri di loket, PT KAI tidak membebani penumpang dengan biaya pembelian secara online. Dengan kata lain, harga tiket di loket dan di internet seharusnya sama, tanpa tambahan biaya apapun.

Kedua, masalah pengembalian bea pembatalan tiket. Apabila penumpang membatalkan tiket yang telah dipesan, penumpang dikenakan biaya 25% dari harga tiket, ini artinya uang yang bisa dibawa pulang penumpang tinggal 75%-nya saja. Ini adalah biaya yang sangat mahal jika dibandingkan dengan dampak kereta terlambat, dan sebagainya. Masalah tidak berhenti sampai di sini. Masalah berikutnya adalah sisa uang pembatalan tiket tidak dapat diambil langsung ketika membatalkan tiket, akan tetapi harus menunggu 30 hari berikutnya. Ini sangat tidak beralasan.

Jika alasannya adalah untuk menghapus ruang gerak para calo, lalu mengapa penumpang yang dikorbankan dengan menunggu 30 hari? Bisa dibayangkan bila ada penumpang dari golongan menengah ke bawah (maaf, miskin), yang membatalkan tiket kelas ekonomi seharga Rp 50.000. berarti uang yang tersisa tinggal Rp 37.500. alangkah malangnya penumpang tersebut. Ia harus menunggu 30 hari hanya untuk mengambil uang sejumlah Rp 37.500. Masih untung bila penumpang tersebut rumahnya dekat stasiun. Bila ternyata ia tinggal di kampung yang sangat jauh, bisa saja uangnya habis tak tersisa karena digunakan untuk biaya naik ojek atau becak.

Solusi yang ditempuh PT KAI untuk mengurangi praktik calo menunjukkan bahwa sebenarnya PT KAI hanya memindah ‘subjek’ yang merugikan. Jika dulu yang merugikan adalah calo, sekarang adalah PT KAI itu sendiri. Jika dulu pihak yang mengambil banyak untung adalah calo, maka sekarang pihak yang mengambil banyak untung adalah PT KAI itu sendiri. Jika dulu pelaku percaloan adalah perseorangan, sekarang ‘posisi calo’ digantikan oleh agen-agen yang ditunjuk PT KAI. Dengan kata lain, sebenarnya PT KAI hanya ingin ‘bagi-bagi rejeki’ dengan para koleganya (baca: Alfamart, Indomart, dan sebagainya). Argumen ini semakin kuat dengan adanya rencana PT KAI menutup loket penjualan tiket langsung di setiap stasiun, sehingga para penumpang diwajibkan membeli tiket secara online melalui internet atau ‘calo resmi’ PT KAI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline