Bulan September diinisiasi sebagai Bulan Gemar Membaca, dikarenakan setiap tanggal 14 September, negeri kita memperingati Hari Kunjung Perpustakaan, yang sudah diresmikan sejak tahun 1995 oleh Presiden Soeharto.
Diresmikannya hari peringatan ini tidak sekedar untuk seremonial semata, tapi keinginan sang kepala negara, berikut juga Presiden pendahulunya, yakni Presiden Soekarno, untuk memajukan tingkat literasi generasi bangsa Indonesia.
Ketika Presiden Soekarno menjabat, beliau sangat mendukung gerakan gemar membaca, agar seluruh generasi bangsa Indonesia bisa melek huruf.
Hal ini dibuktikan adanya catatan bahwa pada tahun 1963, Indonesia menerbitkan banyak buku hingga mendapat pengakuan dari Amerika Serikat, Belanda dan Australia.
Sebagai bentuk pengakuan, Amerika Serikat membeli buku terbitan Indonesia dengan membuka kantor cabang Perpustakaan Nasional AS di Indonesia.
Kemudian, Badan Literasi Belanda Koninklijk Institut voor Taal Land en Volkendkunde (KITLV) mengakuisisi terbitan Indonesia di bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Dan Australia, membeli ragam buku terbitan Indonesia dengan membuka perwakilan kantor Perpustakaan Nasional.
Tidak sekedar pengakuan, kita bisa membuktikan generasi yang lahir tahun 1950-1960an biasanya gemar membaca, entah itu dalam bentuk buku, koran ataupun majalah.
Aktivitas membaca menjadi jendela dunia bagi para generasi pada masanya.
Namun belakangan, Indonesia dinyatakan memiliki tingkat literasi yang rendah. Literasi di sini mencangkup kegiatan membaca, menulis, memahami bacaan dan mengkomunikasikannya.
Pernyataan ini berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA), yang pada tahun 2018, tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 71 dari 77 negara. Kemudian pada tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke 62 dari 70 negara.