Batik hingga kini masihlah menjadi fashion yang disukai oleh banyak orang, dikarenakan motif dan warnanya yang semakin menarik dimata.
Kesukaan tersebut berawal dari tahun 2008, dimana Batik menjadi pakaian wajib seluruh karyawan yang mesti dipakai saat ke kantor pada hari Jumat, dan untuk anak sekolah wajib dipakai pada hari Selasa dan Jumat (masa sebelum COVID-19 melanda).
Tapi itu kebanyakan batik printing yang dipakai oleh masyarakat. Nah, bagaimana dengan nasib batik tulis sendiri?
Seni batik yang membuat UNESCO menjadikannya sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non bendawi, yang diakui seluruh dunia.
Ada saja sih yang masih memakainya, namun masih terhitung dengan jari. Disebabkan mahalnya harga kain batik tulis, belum lagi ongkos jahitnya.
Berhubung hari ini masih dalam rangka merayakan ultahnya Indonesia yang ke-76, dan saya juga terinspirasi dari tulisan Mba Melissa Emeraldina yang berjudul "Mencintai Indonesia Lebih Dalam Lagi", maka saya ingin menulis tentang Batik Tulis, yang katanya bisa jadi akan punah dalam 10 tahun mendatang. Hmm.. benarkah?
Dilansir dari BBC.com, Batik Tulis Oey Soe Tjoen, yang merupakan salah satu batik tulis halus peranakan tertua di Pekalongan, terancam punah, lantaran tidak ada generasi penerus yang tertarik untuk turut membatik lagi.
Begitu pula nasibnya dengan Batik Lasem, milik Sigit Witjaksono, yang terletak di desa wisata batik Babagan, Lasem, Jawa Tengah, sangat sulit bagi penerus Pak Sigit untuk mencari pembatik muda yang berkualitas.
Teringat sekitar dua tahun yang lalu, saya mengunjungi Museum Batik Yogyakarta, dan berpartisipasi dalam satu workshop membuat Batik Tulis.