Mengikuti webinar Kraton Jogja yang menghadirkan narasumber Prof. Koentjoro, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gajah Mada, seperti menjawab pertanyaan saya, tentang apakah kemajuan teknologi memajukan pola pikir dan perilaku manusia atau malah memundurkan?
Pertanyaan ini muncul dikarenakan semakin banyak orang yang mengalami stres, tindak kriminalitas semakin banyak, rasa menghakimi orang lain semakin besar, kata-kata yang terlontar di media sosial seringkali tidak ada tata krama, kurangnya pemahaman betapa bahayanya pencurian data, dan seterusnya.
Sang profesor tidak menjelaskan tentang apa yang ingin saya tulis di sini, namun apa yang beliau sampaikan mendorong saya menyusun puzzle demi puzzle jawaban atas pertanyaan yang saya pikirkan.
"Ketika kita menimba ilmu, haruslah kita olah pikir, dirasai, dilakoni", itulah sepenggal kalimat Prof. Koentjoro, termasuk "Saat kita menerima informasi, jangan yang lama dibuang, tapi dikumpulkan, dipahami, kemudian baru disimpulkan".
Teknologi yang semakin maju, serta membuka mata kita untuk melihat dunia luar, termasuk budayanya, menurut saya, membuat kita menjadi seperti orang lain. Bahkan standar berwawasan, pintar, dan terdepan haruslah mengikuti negara luar, khususnya negara Barat.
Saya akui bahwa banyak ilmu pengetahuan yang berasal dari negara Barat, namun sepertinya tidak pas kalau kita mendapatkan pengetahuan tersebut secara telek-melek, tanpa dipahami dulu karakter dan potensi diri yang sebenarnya.
Misalkan pengetahuan tentang pembangunan properti.
Negara kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah, seperti sumber air yang berlimpah, kekayaan alam hijau yang berlimpah, bahkan saking rimbunnya, negara kita, di Kalimantan Barat dinobatkan sebagai paru-paru dunia pada tahun 2007.
Namun kekurangannya negara kita yang ternyata terletak pada tiga lempeng utama dunia, yakni lempengan Australia, lempengan Eurasia, dan lempeng Pasifik, sehingga negara ini rawan terjadi gempa bumi.