Judul ini terinspirasi pada kalimat dalam buku yang saya baca, "Anak Semua Bangsa" karya Pramoedya Ananta Toer, dimana Minke, seorang pria kelahiran Jawa tulen, ditegur oleh Kommer, penulis berkebangsaan campuran Belanda dan Indonesia (Indo) dan Marais, pelukis berkebangsaan Perancis.
Tegurannya adalah Minke yang memiliki bakat yang sangat baik dalam bidang menulis, namun lebih mau menggunakan bahasa Belanda dan Eropa, ketimbang harus menggunakan bahasa Melayu, yakni bahasa ibunya. Kommer dan Marais sama sekali tidak bermaksud menghambat prestasi Minke dalam tulisannya yang berbahasa Belanda yang bagus dan menarik, namun pada masa itu masyarakat Jawa benar-benar membutuhkan tokoh Jawa langsung yang mampu menggerakkan mereka untuk berani naik level agar bisa sederajat dengan penguasa Hindia Belanda. Tidak memandang diri rendah seakan menjadi orang Jawa asli seperti hina sekali di tanah kelahirannya sendiri.
Minke disebut oleh Kommer sebagai Anak Bangsa yang tidak mengenal Bangsanya Sendiri. Bahkan belum ada dari orang Jawa sendiri yang membela bangsanya sendiri. Para penulis yang berbahasa Melayu di surat kabar harian Indonesia, rata-rata milik orang Belanda, dan penulisnya rata-rata berkebangsaan Belanda, atau Indo, mereka-mereka yang sangat berempati pada orang Jawa yang bisa dikatakan tertindas pada zaman itu.
Dan saya sendiri pun ikut merenung, apakah saya juga seperti Minke?
Saya orang Indonesia, saya merasa kenal bangsa saya sendiri, hingga saya sendiri terlalu melihat borok-borok dari bangsa saya sendiri ketimbang positifnya. Apalagi sekarang ini banyak hal yang viral tentang negara kita hanyalah seputaran kebobrokan negara kita, atau andai ada yang bagus, lebih viral komentar negatifnya daripada pemberitaan yang bagusnya.
Apakah dengan begitu saya sudah mengenal bangsa saya sendiri?
Saya tahu bangsa kita memiliki budaya, agama, ras yang beranekaragam. Tapi apakah saya sudah mengenal semuanya? Atau hanya sebagian saja? Dengan tahu sebagian saya merasa sudah kenal semuanya, kemudian ketika terjadi ketidakadilan pada masyarakat yang saya lihat di media, langsung saya bisa berkomentar dan menghakimi, dan terkadang malah ikut pemikiran para buzzer.
Saya? Apakah benar mengenal bangsa saya sendiri?
Zaman yang modern membuat saya terlena pada teknologi canggih, zaman yang modern membuat saya terlena pada kecanggihan yang disajikan budaya luar negeri melalui sosial media. Saking terlenanya, saya menjadi lupa untuk mengakulturasinya terlebih dahulu dengan budaya bangsa sendiri. Bahkan menjadikan budaya luar sebagai acuan kemodernan.
Saya? Apakah menjadi salah satu orang yang telah membuat bangsa saya sendiri mundur? Dengan mengecilkan apa yang terkandung di Indonesia sendiri.
Begitu indah alam Indonesia, begitu kaya alam Indonesia. Hingga ada orang yang mengatakan, "Enaknya di Indonesia, tanam apa akan tumbuh apa, karena alamnya yang tropis."