Lihat ke Halaman Asli

Nana Marcecilia

TERVERIFIKASI

Menikmati berjalannya waktu

Menanti Realisasi Revolusi Mentalnya Pakde

Diperbarui: 13 Juni 2019   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi dalam menandatangani inpres Revolusi Mental (Foto : setkab.go.id)

Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Pengertian Revolusi Mental ini saya ambil dari web resmi Kominfo.

Awal dibentuknya Revolusi Mental ini, dilansir dari komenkopmk.go.id, Indonesia perlu mengadakan Revolusi Mental, karena merosotnya wibawa negara, lemahnya sendi perekonomian bangsa, sikap intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

Ketika saya kuliah, saya sangat tertarik dengan program Revolusi Mental ini, karena saya merasakan sendiri, bagaimana orang asing memandang orang-orang Indonesia, cenderung mencela, dan yang paling saya rasakan adalah bangsa kita sepertinya memang krisis kepribadian.

Seminar Proposal dalam meneliti kampanye Revolusi mental/Dokpri

Dalam seminar proposal, saya memaparkan hal-hal yang menunjukkan krisisnya kepribadian orang Indonesia pada tahun 2013

Pertama, orang tua saat ini mengedepankan nilai yang tinggi untuk anak-anak sebagai tanda anak mereka sudah sukses dalam belajar. Kemudian, hampir sebagian besar orang tua itu saling memamerkan diri satu sama lain bahwa anaknya unggul, apabila ada orang tua yang merasa anaknya kurang dalam hal nilai, tidak segan orang tua malah menambah jam belajar melalui kursus tambahan. 

Menurut saya ini cukup gila, karena anak bisa mengalami stres dalam usia dini. Selain itu, karena zaman globalisasi saat ini, bahasa asing perlu dikuasai oleh anak-anak mereka, agar anak-anak ini memiliki masa depan yang cerah, maka dari itu para orang tua berlomba menyekolahkan anaknya dalam sekolah yang memiliki cap internasional. Kalau tidak internasional, orang tua cenderung tidak memilih, bahkan melirik saja tidak.

Saya merasa ini termasuk krisis kepribadian, karena tidak semua sekolah internasional itu benar-benar memiliki kualitas dalam hal ilmu pengetahuan, yang penting asal caplok dari buku, gurunya bisa bahasa Inggris dengan fasih, tapi anak-anak belum tentu diajar dan dididik untuk berpikir kritis dan bernalar, serta memahami apa yang sedang mereka pelajari. 

Saya pernah mengajar anak TK di sekolah, kemudian mengajar kursus untuk anak SD-SMP, yang saya lihat, sebagian besar dari mereka tidak paham apa yang sedang mereka pelajari, mereka hanya menghafal mati, yang penting dapat nilai bagus, supaya jam belajar mereka tidak ditambah terus oleh orang tua. 

Menurut Anda, apakah hal ini baik untuk masa depan anak-anak nantinya? Bahkan sampai mereka kuliah pun, bila tidak mendapatkan guru yang benar mendidik siswanya, atau orang tua masih menerapkan konsep yang penting nilai bagus, maka anak-anak ini terbiasa dengan cara hafal mati. Dan tentu cara menghafal mati tidak mungkin berguna saat mereka terjun dalam dunia kerja nanti. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline