Lihat ke Halaman Asli

Kontroversi Resep obat di Profesi Kebidanan

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tak sedikit masyarakat yang tahu akan peran bidan yang tak hanya membantu persalinan dan kesehatan anak. Di sisi lain, bidan juga memiliki peran yang masih menjadi Tanda Tanya besar hingga kini dalam pemberian resep obat. Benarkah ini menjadi bagian dari peran profesinya? Dan apa sesungguhnya yang melatarbelakangi fenomena ini?Lalu bagaimanakah juga peran para bidan yang mendominasi dalam membantu persalinan dan kesehatan anak di pedesaan?

Jika para bidan bisa memberikan resep obat, lalu apa bedanya dengan dokter? Dengan biaya yang relative lebih murah, tentu masyarakat akan lebih memilih bidan sebagai langkah alternative pilihannya. Dengan jumlah bidan yang makin tersebar merata hingga ke pelosok daerah. Belum lagi keterbatasan profesi dokter di daerah, tentu makin menambah dilema profesi kebidanan yang seharusnya mereka berada dibawah pengawasan seorang dokter. Dan ditengah dilema itu makin memupuk keyakinan di kalangan masyarakat bahwa bidan memiliki peran sebagai pengganti dokter. Atau bahkan barangkali di pedesaan mereka menganggap bidan itu sama dengan dokter. Mengingat tingkat keawaman mereka akan pengetahuan profesi kesehatan.

Lebih parahnya lagi mungkin bagi mereka tak peduli apa itu mantri, perawat, bidan ataupun dokter, karena yang ada dalam benaknya hanya satu: sembuh dengan biaya terjangkau.

Dan ini menjadi sesuatu yang beralasan mengingat minimnya jumlah dokter yang berada di pedesaan/daerah pelosok. Sangat jarang dokter yang mau menetap di pedesaan/pelosok. Sekalipun ada yang mau, berapakah jumlah mereka? Tentu sudah dapat ditebak bahwa jumlah mereka sangat terbatas. Sehingga mungkin ini menjadi salah satu jawaban sehingga perannya menjadi tergeserkan oleh bidan. Obat-obatan yang bertuliskan ketentuan ‘harus dengan resep dokter’ pun ditembusnya dengan sehelai resep obat untuk para pasiennya, tanpa keraguan. Jika tidak begitu, bagaimanakah nasib pasiennya? sementara mereka terdesak membutuhkan obat.

Menilik perkotaan besar yang marak dengan puskesmas, ternyata peran dokter di tempat-tempat ini juga terbatas. Sementara jumlah pasien membludak laksana antrian pertunjukan film. Mereka harus antri berjam-jam untuk mendapatkan giliran pelayanan dokter. Tak dipungkiri kehadiran bidan di puskesmas dapat menjadi salahsatu solusi yang memperingan kerja para dokter. Khususnya terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan ibu dan anak. Bisa dibayangkan dengan kondisi tersebut seorang dokter masih harus direpotkan untuk menerima konsultasi bidan akan resep obat bagi pasien yang ada di ruang kebidanan. Mustahil hal ini terjadi. Sehingga wajar dan sudah menjadi rahasia umum jika langkah selanjutnya para bidan ini memberikan resep obat yang dibuat sendiri. Pasienpun juga menjadi terbantu dengan adanya pelayanan yang ada dimasyarakat.

Lalu bagaimanakah dengan pihak apotekernya sendiri, maukah mereka menerima resep obat dari para bidan ini? Tentu tak ada masalah bagi mereka. Lalu bagaimana juga jika itu resep obat yang dibuat oleh seorang perawat? Umumnya para karyawan di apotek tetap melayani pembelian obat atau resep obat, baik itu dari pihak perawat maupun bidan. sekalipun dalam ketentuan obat itu sendiri tertera tulisan ‘harus dengan resep dokter’. Bahkan obat-obatan yang dipilih oleh pasien sendiri, juga akan dilayani.

Sebagaimana salah seorang apoteker di kawasan Depok, Bu Titin mengutarakan, “kami sendiri kadang menawarkan obat lain, jika obat tersebut tidak ada. Kami tahu itu memang harus dengan resep dokter, tapi sudah cukup umum digunakan seperti amlodipine, simvastatine, juga antibiotic atau obat lainnya.., dan pasien sudah biasa menggunakannya. Bahkan terkadang itu resep yang diminta pasien sendiri tanpa didahului dengan konsultasi pihak kesehatan manapun. Dan kami tetap melayaninya. Sepanjang sudah biasa digunakan pasien.”

Tentu saja yang jadi pertanyaan bukanlah mereka oke-oke saja dalam melayani resep tersebut. Dan tak dijumpai kasus berat akibat pembelian obat bebas tersebut, Tapi apakah hal ini semua sudah sesuai dengan ketentuan undang undangnya? Jika tidak, lalu dimanakah peran pemerintah sendiri dalam mengawasi pelaksanaan ketentuan perundang-undang tersebut?

Dalam sebuah wawancara dengan seorang ketua PDKI (persatuan Dokter Keluarga Indonesia) Bpk. Sugito Wonodirekso mengenai peran bidan terkait dalam pemberian resep obat yang makin marak ini, beliau berasumsi bahwa sesungguhnya bidan atau perawat tidak boleh memberikan obat pada pasiennya jika tidak dalam pengawasan dokter. Menurutnya, yang memiliki kewenangan memberikan resep obat pada pasien adalah dokter, karena dokter memiliki dasar keilmuan untuk melakukan itu, demikian dikatakannya dalam Detik News dalam sela acara media brief falmily day, di gelanggang olahraga saparua, minggu 16 maret 2008.

Dalam acara tersebut, beliau juga mencontohkan jika bidan memberikan antibiotic yang kurang dari seharusnya, maka akan mengakibatkan kekebalan kuman, yang ujungnya berakibat pada pasien yang diharuskan membeli antibiotic dengan harga lebih mahal. Bidan sendiri dalam akademinya tidak mempelajari farmakologi sebagaimana dokter.

Bahkan dalam melayani persalinan, jika ditemukan kelainan, maka bidan diwajibkan untuk merujuk pasien pada dokter, demikian dikatakannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline