Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggaet Yayasan Dapuran Kipahare (YDP) mengadakan Bimbingan Teknik Pelestari Cagar Budaya di Gunung Padang. Acara ini dihadiri berbagai komunitas yang berdomisili di wilayah Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat.
Bertujuan mengajak masyarakat, utamanya generasi muda untuk melestarikan cagar budaya, acara ini menghadirkan Kepala Seksi Dokumentasi Direktorat PCBM Dewi Kurnia sebagai pembicara. Dewi mengapresiasi beberapa komunitas dan masyarakat yang telah melestarikan Gunung Padang. Beberapa waktu lalu, YDP melayangkan surat kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengadakan acara ini. "Semangat mereka luar biasa," ucap Dewi saat ditemui di kawasan Situs Gunung Padang, Sabtu (3/10).
Ia menjelaskan, Gunung Padang telah diakui sebagai salah satu cagar budaya Indonesia oleh Kemendikbud sejak 2014 silam. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan di Gunung Padang. Bersamaan dengan itu, isu yang bergulir di media juga cukup tinggi. Mulai dari berbagai penemuan koin, semen purba, hingga bentuknya yang diduga mirip dengan piramida.
Hal itulah yang melatarbelakangi melunjaknya jumlah pengunjung di Gunung Padang. Untuk itu, menurut Dewi, penting kiranya membuat mekanisme pengelolaan yang lebih baik lagi. "Tidak hanya dari pemerintah, tapi juga melibatkan masyarakat luas," terangnya, Sabtu (3/10).
Berbeda dengan Dewi, Arkeolog Balai Arkeolog Jawa Barat Lutfi Yondri mengatakan, Gunung Padang ini terdiri dari 5 teras yang terdiri dari kumpulan batu-batu. Bentuk batu di Gunung Padang dinilai unik. "Bentuk dan ukurannya seragam," terangnya, Sabtu (3/10).
Banyak masyarakat yang mengatakan batu yang berada di kawasan Gunung Padang termasuk batu megalitikum. Pernyataan tersebut disanggah oleh Lutfi. Menurutnya, batu megalitikum--yang dibuat oleh Rumpun Ras Austronesia--hanya berasal dari zaman megalitikum saja. "Sedangkan masyarakat Gunung Padang kala itu bukan dari Ras Austronesia," katanya, Sabtu (3/10).
Lebih lanjut, Lutfi juga menyanggah pernyataan batu tersebut berada di zaman 2500 ataupun 1500 SM. Batu yang kini pemandangannya banyak dinikmati para pengunjung itu berasal dari zaman Paleolitikum. "Pendapat terkuat mengatakan lahir pada zaman 500 SM," jelasnya, Sabtu (3/10).
Dewi berharap, suatu saat kegiatan ini dapat dikemas dengan rangkaian acara yang lebih besar lagi. Melibatkan berbagai komunitas dan komponen masyarakat luas. "Utamanya yang berfokus pada isu pelestarian budaya," ucap Dewi yang juga lulusan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Sabtu (3/10).
Siti Heni Rohamna
Mahasiswi Pendidikan Kimia UIN Jakarta, aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa Institut UIN Jakarta, telah dikukuhkan sebagai Duta Damai Dunia Maya dan Juru Bicara Pancasila Wilayah Jabodetabek, tergabung dalam Komunitas Bela Indonesia Nasional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H