Lihat ke Halaman Asli

Nayla I. Hisbiyah

🎓 2021. Dalam pengabdian.

Melestarikan Bahasa Jawa Krama Inggil

Diperbarui: 26 September 2021   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Bahasa adalah ungkapan berkomunikasi dan identitas suatu bangsa. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku, sehingga dengan dialek masing-masing daerah dapat mudah dikenali darimana suku seseorang berasal.

Satu di antara kekayaan bahasa di Indonesia adalah Bahasa Jawa. Di Jawa Timur saja, berbeda kota berbeda pula dialek yang diucapkan. Padahal sama-sama Bahasa Jawa. Belum lagi di Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat. Betapa beragam varian yang terlaku di masyarakat.

Bahasa Jawa memang menjadi bahasa ibu di Pulau Jawa. Bahasa yang unik dan mengenal tingkatan berbahasa.

Bahasa Jawa Ngoko adalah bahasa untuk keseharian dan digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang dianggap sepadan. Baik sepadan dalam usia, ilmu, pengalaman. Bahasa Jawa Ngoko tidak cocok  diterapkan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua dan orang yang dianggap harus diberi penghormatan. Sebab, memilik kesan tidak halus saat diucapkan.

Kemudian, ada Bahasa Jawa Krama Madya. Bahasa ini memiliki tingkatan di atas Bahasa Jawa Ngoko dan lebih sopan digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari sekalipun dengan teman sebaya. Namun, tetap saja masih kurang cocok diterapkan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dan yang dianggap harus diberi penghormatan.

Nah, selanjutnya Bahasa Jawa Krama Inggil. Inilah bahasa paling halus dan dianggap paling sopan untuk digunakan dalam berkomunikasi. Baik kepada orang yang lebih tua maupun orang yang harus diberi penghormatan. Jadi, Bahasa Jawa Krama Inggil, tepat sekali digunakan untuk berkomunikasi bersama orangtua, guru, kakak, orang yang berilmu, dan memberi rasa hormat kepada orang yang baru dikenal.

For the example, "mata" dalam Bahasa Indonesia menjadi mata (dibaca : moto) dalam Bahasa Jawa Ngoko, menjadi mripat dalam Bahasa Jawa Krama Madya, dan menjadi suca (dibaca: suco) dalam Bahasa Jawa Krama Inggil.

Di Jawa, apalagi di daerah yang masih kental dengan adat jawa, semisal di kampung dan pesantren, semakin menggunakan Bahasa Jawa Krama Inggil, maka dianggap semakin baik pergaulannya. Sehingga, membiasakan anak berbahasa krama masuk dalam pendidikan sehari-hari.

Sebuah pengalaman dari penulis yang hidup dilingkungan pesantren, penulis merasakan saat ia menerapkan bahasa krama inggil dalam komunikasi sehari-hari, ia akan lebih hangat dan dalam menghadapi seseorang. Jika muncul rasa jengkel dalam hati, maka tutur kata yang keluar lebih tetkontrol dan terkesan masih halus didengar. Mungkin pembaca sekalian yang berasal dari jawa lebih dapat membayangkan bagaimana atmosfur ketika penulis sedang uring-uringan dengan seseorang, tapi tetap menjaga bahasa jawa krama dari lisannya.

Semisal, "panjenengan niku dos pundi? Kulo kedah nglampahi nopo?." Artinya: "Bagaimana kamu ini? Aku harus melakukan apa?." Yakin deh, walaupun marah kesannya tetap halus dan kalem.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline