Dini hari pada tanggal 28 September 1953, gerombolan gerakan pengacau keamanan (GPK) yang menamakan diri Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) menyerang pos dan asrama polisi di Kurau, Kalimantan Selatan. Serangan yang dipimpin Suwardi itu berkekuatan 50 orang. Sementara di pos itu hanya ada lima orang anggota polisi bersenjata.
Walau begitu GPK KRyT kesulitan untuk melumpuhkan kekuatan pos/asrama polisi tersebut. Terlebih setelah seorang Bhayangkari ikut dalam pertempuran tersebut.
Bhayangkari itu melibatkan diri dalam pertempuran karena melihat kekuatan anggota polisi yang tidak berimbang. Bahkan Suwardi, pemimpin penyerangan itu, tertembak oleh senjata jenis moser yang digunakan Bhayangkari itu. Senjata ini milik suaminya.
Mengutip banjarbaru.kalsel.polri.go.id, Bhayangkari pemberani ini bernama Mathilda Batlayeri. Setelah pertempuran kurang lebih satu setengah jam, Mathilda pun gugur.
Bahkan anak Mathilda ikut gugur yaitu Alex (9 thn) dan Lodewijk (6 thn) yang gugur di kamar asrama yang mereka tempati, sementara Max (2,5 thn) gugur di pelukan ibunya.
Setelah tidak ada perlawanan lagi dari pihak polisi, maka GPK KRyT membumihanguskan Pos/Asrama Polisi Kurau. Jenazah Mathilda dan ketiga anaknya turut terbakar dalam kobaran api tersebut.
Untuk mengenang jasa-jasa Mathilda dibangunlah "Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri" di Kurau dan selesai dikerjakan pada 15 Oktober 1983.
Kemudian bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1983, monumen tersebut diresmikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Bhayangkari Ny. Anton Soedjarwo (isteri Kapolri Jenderal Polisi Anton Soedjarwo, periode 1982-1987).
Pada bagian depan Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri terukir tulisan yang berbunyi, "Kepada Penerusku, Aku Bhayangkari dan Anak-anakku Terkapar Di Sini, di Bumi Kurau Yang Sunyi, Semoga Pahatan Pengabdianku Memberi Arti pada Ibu Pertiwi"
Nama Bandara