Lihat ke Halaman Asli

Bahumu

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dulu, kamu selalu menemani ceritaku. Bahkan ketika kamu sedang mengantuk pun, kamu akan membuat kopi agar bisa menemaniku begadang meski hanya melalui telepon. Padahal, apa yang kuceritakan seringkali tidaklah begitu penting. Aku hanya tidak bisa tidur dan ingin ada orang yang menemaniku. Tetapi kamu, seseorang yang sebenarnya tidak suka begadang, selalu bersedia menjadi orang itu, yang mau begadang menemaniku.

Dulu, kamu selalu datang kapan pun aku membutuhkanmu. Aku tidak tahu kamu memiliki kekuatan apa. Karena apa pun masalahku, ketika melihatmu datang, aku selalu merasa lega. Kamu juga rela mendengar ceritaku tentang dia. Seseorang yang membuatku tergila-gila sekaligus terluka berkali-kali pada saat yang sama. Kamu kemudian akan menyediakan bahumu untuk kepalaku bersandar, menghapus airmataku pelan, dan mendaur ulangnya untuk memunculkan tawaku dengan joke-joke garingmu. Yang membuatku tertawa bukan kelucuannya. Tapi karena begitu berusahanya kamu menceritakan hal yang lucu, dengan muka datar karena kamu memang tidak pandai bercerita. Itu garing. Tapi aku menikmatinya.

Sekarang pun kamu masih seperti itu, menyediakan bahumu. Tapi, bahumu sudah dingin, tidak sehangat dulu ketika masih mencintaiku. Tidak sehangat dulu ketika kamu masih bersedia menungguku meski aku tergila-gila pada lelaki itu.

Sekarang, terlanjur kamu yang menganggapku teman biasa karena sudah ada gadismu. Kamu sudah melepaskan, yang akhirnya kamu malah mendapatkan. Dan aku perhatikan, gadis itu malah jauh lebih menarik dan menyenangkan daripada aku. Kamu beruntung, gadis itu juga.


Dulu, kamu pernah mencintaiku seperti kamu mencintai gadis itu. Salahku, aku yang tidak peduli dan melakukan kebodohan dengan memuja seseorang yang sebenarnya memiliki ego terlalu besar untuk memikirkan bahagiaku. Sementara kamu, yang selalu memikirkan bahagiaku, tertutup keberadaannya karena aku hanya memperhatikan dia saja.


Pasti sekarang gadis yang bersamamu itu, sedang sangat berbahagia . Karena kamu selalu ada untuknya, dan selalu menjaga bahagianya.

Aku masih ingat, tadi malam kamu bilang, "Bahuku malam ini masih boleh untuk tempat bersandar kepalamu. Tapi lain kali, tidak boleh lagi. Ada hati seseorang yang harus kujaga. Kedekatan dua orang, tidak harus dilambangkan dengan sentuhan intim badan. Memang tidak terjadi apa-apa, tapi jika itu bisa melukai pasangannya, kenapa harus dilakukan? Jadi, lain kali, mungkin tidak akan ada bahuku lagi. Tapi aku masih bisa menemanimu bercerita. Meski pastinya, waktuku tidak lagi bebas seperti dulu."

Kamu tersenyum. Aku diam. Lalu menyandarkan kepalaku ke bahumu seperti dulu.

Itu pertama kali kita terdiam dalam waktu yang lama ketika sedang berdua.

Seperti apa yang aku bilang tadi, bahumu masih tersedia untukku. Setidaknya sampai malam tadi. Tapi aku tidak pernah tahu kalau bahumu bisa sedingin itu. Kalau aku tidak tergila-gila pada lelaki itu, bahumu pasti masih hangat seperti dulu.

_____

diambil dari namarappuccino.com bersama fiksi, puisi, dan inspirasi lainnya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline