Lihat ke Halaman Asli

Mencintaimu Sekali Lagi

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih ingatkah dulu, bagaimana aku selalu memperhatikan detail tentangmu? Seperti sepatu apa yang kamu pakai dalam foto itu, atau tas apa yang kamu kenakan, atau kamu menggunakan bross kecil apa di baju kantormu? Ya, hal-hal seperti itu. Masih ingatkah itu?
Atau aku mengenalimu dari jauh, lalu mengejarmu hanya untuk menyapamu dan berbincang sebentar setelah kemudian mengucapkan, “Selamat tinggal. Sampai bertemu lagi?”

Atau juga pada suatu ketika aku mengirimi lagu dari radio secara sembunyi-sembunyi. Aku menggunakan nama “Hujan” ketika itu. Dan lagu yang sering kukirim adalah “You’ll be Safe Here” dari Rivermaya. Aku tidak peduli kamu mendengar radio atau tidak, aku hanya ingin mengirimimu lagu itu.

Ya. Aku selalu melakukannya. Aku selalu mengingat detail semua tentangmu, sekecil apa pun itu. Dulu. Sekarang pun masih ingat. Dan kalau kamu bertanya kenapa bisa begitu, jawabanku mungkin akan sederhana,


Itu bukan karena ingatanku yang kuat. Itu namanya mencintaimu.


Lalu datang lelaki itu. Ya. Lelaki itu. Lelaki tampan yang tak berhenti kamu ceritakan setiap hari itu. Kamu menceritakannya dengan lancar dan tanpa bosan. Mengagumkan bagaimana kamu mengingat detail tentangnya, persis seperti aku mengingat detail tentangmu.
Jangan lihat tawaku dan mataku ketika kamu selalu melakukan itu, menceritakannya. Mata dan tawaku tidak jujur. Mereka pembohong yang sudah terlatih bertahun-tahun untuk mengelabuimu. Buktinya, sampai sekarang kamu tidak tahu bahwa aku mencintaimu,bukan?
Dan tawa berbahagia ketika kamu bercerita tentangnya itu, aku harusnya mendapat piala Oscar karenanya. Itu mungkin akting terbaikku selama ini. Sayangnya, kamu selalu membaca mata dan tawaku. Kamu tidak pernah membaca hatiku. Jadi, yang kamu lihat adalah yang kamu percayai. Salahku juga, aku tidak pernah punya nyali mengatakan apa pun kepadamu. Aku bodoh? Tidak juga. Sepertinya kita berdua bodoh. Karena seharusnya kamu tahu perasaanku. Setidaknya jangan bercerita tentang lelaki “mengagumkanmu” itu di depanku. Ya, setidaknya. Tapi mungkin kamu memang bodoh. Kamu pintar dalam segala hal tapi sangat bodoh ketika membaca hati seseorang yang di depanmu.

Singkatnya kamu jatuh cinta pada pria ‘mengagumkan’mu. Jatuh cinta secinta-cintanya. Sampai siang malam yang kamu ceritakan adalah dia. Di depanku. Biar kuulang, di depanku. Kamu pasti tidak pernah tahu rasanya bukan? Ya, aku suka tawamu. Ya, aku suka binar matamu ketika berbahagia. Ya, aku suka cerita-ceritamu. Kecuali yang ini. Kecuali saat kamu bercerita tentang lelakimu ini. Aku mulai membenci tawa, binar bahagia matamu, dan cerita-ceritamu. Ya. Membenci ketiganya. Tapi aku akan bertahan melihat dan mendengarnya, untukmu. Hanya untukmu.

Pada momen itulah, aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Berhenti memikirkan tentangmu. Berhenti memperhatikan setiap detail tentangmu. Berhenti melihat akun microbloggingmu. Berhenti mencoba menyapamu ketika melihatmu dari dekat atau jauh. Ya, aku berhenti.

Anehnya, sepertinya semesta sedang mempermainkanku. Kamu bisa tiba-tiba muncul begitu saja di perpustakaan favoritku atau kafe tempatku biasa meminum secangkir kopi dan kue tiramisu untuk menghabiskan waktu memandang orang-orang yang berlalu lalang tergesa-gesa pulang kerja. Lalu kamu akan duduk di sana, berlama-lama. Lagi. Bercerita tentang mengagumkannya lelaki itu. Lelaki itu romantis, lelaki itu dewasa, lelaki itu lucu, lelaki itu pintar menyanyi, lelaki itu…, lelaki itu…, lelaki itu…

Sial. Tidak ada kata lain selain kata ‘lelaki itu’ dalam sebuah nama? HA?!

Tapi aku diam saja. Mendengarmu dengan perhatian sepenuh-penuhnya. Ikut tertawa ketika kamu tertawa. Membalas timpalanmu dengan pertanyaan, “Terus?” atau “Ah, menyenangkan sepertinya.”

Lalu sesuatu menyadarkanku. Di sana. Tepat di sana. Pada saat kamu bercerita dan tertawa, lalu perhatianku penuh kepadamu. Ketika itu aku tidak memedulikan apa yang kamu ceritakan. Aku hanya melihatmu. Melihatmu dengan perhatian yang seperti suara dan pemandangan apa pun tidak bisa mengalihkanku darimu. Perhatian yang kalaupun ada ledakan di belakangku, aku tidak akan menolehnya. Di sana. Aku sadar, aku memang sudah jatuh cinta. Terlalu dalam. Sangat dalam. Dan menyadari aku akan kesulitan untuk jauh darimu karena aku suka tawamu itu. Aku suka ketika bibirmu bergerak-gerak bercerita itu. Aku suka ketika tanganmu mengibaskan rambutmu yang tergerai. Aku suka ketika kamu melirik ke suatu tempat ketika ada suara yang mengganggumu. Aku suka cara kamu mengetik di handphonemu. Aku suka cara kamu meminum dan mengunyah. Hei, aku bahkan suka kecerobohanmu. Ah, ya Tuhan. Aku sudah gila.

Dan ketika kamu memunggungiku, aku selalu membenci pemandangan itu. Rasanya terlalu hening bahkan untuk bahasa sebuah punggung. Seperti dongeng kecil yang sedang bercerita dengan bisik serupa desis, bahwa kamu akan pergi dariku sejauh-jauhnya dan tidak akan kembali lagi. Aku benar-benar membenci itu. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu. Jadi aku harus menerimanya, seperih apa pun itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline