Lihat ke Halaman Asli

Dilema Pariwisata, Adakah Jalan Tengah?

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14189317802141017030

[caption id="attachment_341950" align="aligncenter" width="589" caption=""][/caption]

Indonesia memiliki potensi wisata yang sangat kaya, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Baik dilihat dari sisi peninggalan sejarahnya, kehidupan masyarakat tradisional lengkap dengan budaya yang beragam, maupun keindahan alamnya. Banda Neira di Maluku, selain memiliki kekayaan bawah laut yang mengagumkan, juga memiliki nilai sejarah yang luar biasa. Begitu juga Trowulan, Jawa Timur, yang meninggalkan jejak peninggalan kerajaan Majapahit. Sumba, NTB, memiliki keunikan rumah-rumah tradisional yang memukau. Begitu juga dengan Toraja, Sulawesi Selatan. Bali, sudahlah, jangan ditanya.

Belakangan ini, saya lebih memfokuskan diri untuk menjelajahi wilayah Nusa Tenggara dan Maluku. Melihat keindahan alamnya, sulit bagi saya untuk menyembunyikan ekspresi kekaguman yang lahir dari lubuk hati. Paling sederhana, saya akan mengeluarkan decak kekaguman ‘Wow!’ dengan mata terbelalak. Tapi di sisi lain, mata saya tak bisa abai dengan kondisi perekonomian masyarakatnya dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Seolah keindahan alam itu tak sebanding dengan taraf hidup masyarakatnya yang menyedihkan.

Desa Pemo, misalnya. Desa ini terkenal dengan ritual adat Joka Ju, yang diselenggarakan setahun sekali setiap bulan Oktober. Lokasinya dekat dengan Danau Kelimutu, Flores, dan memiliki pesona alam yang mengagumkan. Mata ini dimanjakan oleh pemandangan perkebunan kopi, bukit-bukit hijau dan rumah-rumah penduduk di tepi tebing. Tapi di sisi lain, perjalanan ke desa itu tidaklah mudah. Jalan menuju kesana kondisinya rusak dan sempit. Saya bayangkan, betapa sulitnya jalan yang harus ditempuh warga di sini untuk menjual hasil perkebunannya. Selain itu, mata saya juga tidak bisa abai melihat kondisi rumah-rumah warga yang sangat memprihatinkan. Rumah-rumah berukuran mungil yang terbuat dari kayu, berdinding bambu beratapkan seng.

Desa Pemo hanyalah salah satu contoh saja. Saat saya mengunjungi Pulau Nusa Telu, Maluku, tampak beberapa desa dengan kondisi yang tidak kalah memprihatinkan. Khususnya di Desa Negeri Lima, yang sekitar setahun lalu terkena musibah akibat jebolnya bendungan alam Way Ela. Sampai saat ini, warga disana masih menghuni tenda-tenda darurat, karena rumah-rumah mereka habis tersapu ke laut saat bencana terjadi. Ini masih ditambah dengan jalur transportasinya yang masih darurat juga.

Secara pribadi, saya senang menceritakan keindahan alam dari tempat-tempat yang pernah saya kunjugi melalui tulisan. Dengan harapan, tulisan saya dapat menularkan semangat mengeksplore pesona Indonesia ke teman-teman yang lain. Daripada jauh-jauh ke Singapore, Thailand, Vietnam, dll, lebih baik jelajahi dulu negeri sendiri yang tak kalah indahnya. Sedikit atau banyak, kedatangan teman-teman ke wilayah-wilayah pelosok di Indonesia, akan ikut membantu perputaran ekonomi di wilayah setempat. Sehingga jurang perbedaan antara keindahan alam dengan taraf hidup penduduknya semakin lama semakin berkurang.

[caption id="attachment_341951" align="aligncenter" width="699" caption=""]

1418931851355826540

[/caption]

Hanya saja, di sisi lain, saya juga menaruh kekuatiran yang sangat, jika tempat-tempat wisata yang kebanyakan masih alami banyak didatangi turis dalam negri dan luar negri. Teman di Derawan, Kalimantan Timur, misalnya, merasa gundah saat sekarang jarang sekali penyu mampir ke pulau itu untuk bertelur. Kalaupun ada, itu pasti penyu yang masih muda dan belum berpengalaman. Atau masalah sampah yang sekarang menjadi masalah besar di beberapa lokasi wisata. Saya juga tak ingin, masyarakat Dayak menjadi malu dan tidak lagi bangga dengan telinga panjangnya karena pihak luar telah mengolok-oloknya. Masih terekam dalam benak saya bagaimana dulu sebuah media televisi menayangkan kisah perjalanan dua selebritis yang mengunjungi suatu komunitas adat dan merendahkan komunitas itu dengan memakai sudut pandang orang Jakarta. Tidak. Saya tak ingin demikian. Saya ingin mereka tetap memepertahankan keaselian dan kealamian mereka. Tapi, jika demikian, saya termasuk orang yang egois, karena bagaimanapun kedatangan wisatawan-wisatawan dari luar akan membawa berbagai dampak, baik yang positif maupun negatif.

Biar bagaimanapun, hidup ini tentang membuat pilihan. Setiap orang bebas menentukan pilihan. Hanya saja yang perlu diingat, seseorang tidak pernah bisa bebas dari konsekuensi atas pilihan yang telah dibuatnya. Jadi, sebelum membuat pilihan, ada baiknya kita memikirkan betul-betul konsekuensinya. Kalau perlu adakan penelitian mendalam. Benarkah kita menginginkan banyak wisatawan dari berbagai tempat mengunjungi lokasi-lokasi terindah negeri ini? Sehingga perlu menyediakan kemudahan dan fasilitas bagi pengunjung? Sudah dipertimbangkan baik buruknya? Atau, biarkan saja begitu adanya, biarkan mereka tetap tersembunyi dan terjaga kealamiannya? Seandainya ada jalan tengah. Hmm, adakah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline