Masih soal Tragedi Kanjuruhan Malang. Menyoal penjelasan Kadiv Humas Polri mengenai penyebab meninggalnya para korban dalam kerusuhan di stadion Kanjuruhan tempo hari. Di dalam penjelasan beliau di media, menyebutkan bahwa gas air mata bukan penyebab meninggalnya korban, tapi yang menjadi sebab adalah berdesakan dan kekurangan oksigen.
Penjelasan kadiv humas polri tidak hanya sampai situ saja, bahkan beliau menjelaskan secara ilmiah mengenai gas air mata tidak sampai bisa membuat orang kehilangan nyawa. Beliau mengutip dari dokter spesialis mata bahwa gas air mata hanya akan menyebabkan iritasi pada mata, kulit dan pernafasan yang nantinya akan sembuh dalam beberapa hari.
Jika penjelasan mengenai gas air mata mencoba dipisahkan dari konteksnya mungkin akan menjadi sangat benar pernyataan dari beliau apalagi sampai mengutip pernyataan dokter spesialis mata. Berarti beliau mencoba menjelaskan seilmiah mungkin dan bisa dipertanggungjawabkan mengenai kandungan-kandungan kimia didalam gas air mata tersebut.
Berbeda cerita Ketika dijelaskannya dengan menyertakan konteks kejadiannya. Kita coba mundur ke belakang menilik kejadian di Kanjuruhan Malang. Kejadian yang sebenarnya adalah ada tembakan gas air mata yang diarahkan ke tribun secara acak dan ngawur oleh aparat kemananan yang berseragam. Ketika gas air mata mulai dilontarkan ke tribun, orang yang berada disitu akan mencoba menghindari dengan cara mencari pintu keluar. Terlebih mereka yang membawa anak dan sanak saudaranya yang masih kecil.
Posisi pintu exit terbatas, namun yang berdesakan melebihi kapasitas pintu keluar tersebut akhirnya ada yang terjatuh terinjak-injak didalam kepanikan penonton yang mencoba menyelamatkan nyawa masing- masing.
Menurut saksi mata dari korban, saat gas air mata ditembakkan ke tribun dia merasakan sulit bernafas dan hidung terasa panas seperti ada duri saat bernafas. Didalam kondisi demikian, akan make sense orang akan lari Ketika terkena gas air mata. Meskipun akhirnya harus berdesakan, yang penting tidak semakin tersiksa menghirup gas air mata. Namun naasnya malah terinjak2 dan sesak nafas karena kekurangan oksigen hingga meninggal dunia.
Jika kita melihat kejadiannya secara menyeluruh, penembakan gas air mata lah yang menjadi pemicu dan sebab utama mereka terpaksa berdesakan mencoba mencari tempat yang aman atau oksigen untuk bernafas. Penjelasan yang dilakukan Kadiv Humas Polri tidak menyeluruh, mencoba memisahkan konteks dalam kejadian tersebut saat menjelaskan bahaya gas air mata.
Mencoba mengempati, tugas seorang humas didalam suatu Lembaga. Mereka mengemban tugas yang tidak mudah. Jika diringkas tugas seorang humas dalam suatu Lembaga adalah menyajikan informasi ke publik dengan tetap menjaga atau kalau bisa meningkatkan kredibilitas Polri di mata publik. Jadi, beliau dalam menjelaskan soal penyebab meninggalnya korban Kanjuruhan juga tidak terlepas dari tanggung jawabnya sebagai Kadiv Humas Polri.
Dalam wawancaranya reporter Kompas, sempat bertanya kepada beliau "apakah kepolisian republik Indonesia secara institusi mengetahui aturan FIFA soal larangan gas air mata sehingga disampaikan ke anggota- anggotanya?" Jawaban dari beliau adalah "kalo saya sih sudah membaca, cuma kan kembali lagi bahwa kemampuan manusia berbeda2".
Dari jawaban tersebut, terlihat ketidak profesionalan dalam mengakui kesalahan dari institusi polri itu sendiri. Mencoba dikembalikan bahwa masing-masing memiliki kemampuan. Bukan kah para aparat keamanan bertugas berdasarkan profesionalitas seharunya? Tidak ada alasan tidak tahu dan alasan kemampuan masing-masing karena sudah menjadi tanggungjawab sebelum melakukan pengamanan seharunya memiliki wawasan tersebut bukan asal memukul mundur.
Dalam pengamanan yang selama ini dijalankan sepertinya hanya mengukur soal seberapa ancaman sehingga kekuatan pun berusaha diselaraskan. Namun melupakan hakikat mengamankan itu sendiri. Yang terjadi dilapangan, ketika membubarkan masa selalu ada korban. Pertanyaannya itu pengamanan atau sekedar pembubaran? Bukankah kerja profesional itu terstruktur dan ada SOP nya? Bukan brutal menyerang menggunakan senjata, Sampai ada korban meninggal yang masih anak-anak dimana mereka tidak tahu apa-apa.