Lihat ke Halaman Asli

Isnaini Mila

Socmed Specialist

Di Balik Fenomena Salah Jurusan

Diperbarui: 8 Juni 2020   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sepertinya minatku tidak disini, aku salah jurusan". Pernahkah mendengar kalimat tersebut dari seorang teman? atau bahkan diri sendiri pernah berkata demikian dalam hati.

Kalimat ini akrab dengan seseorang pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa. Karena baru di jenjang itulah ada pembagian berdasarkan minat. Yang tak jarang pilihan mereka tak benar-benar dipilih dalam keadaan sadar.

Ada beberapa interupsi, mulai dari karna jurusan tersebut merupakan pilihan orang tuanya sampai ada yang hanya ikut-ikutan temannya.

Ada yang memang memilih sendiri tanpa interupsi dari kedua hal diatas, namun pilihan sendiri pun tak terhindarkan dari ungkapan kalimat "aku salah jurusan"di tengah perjalanan. Bagaimana bisa itu terjadi?

Memilih sesuatu bukanlah hal mudah apalagi jurusan sekolah atau kuliah. Kemampuan untuk itu mensyaratkan mengerti diri sendiri yang meliputi sadar kekuatan dan menerima kekurangan. Tak mudah memang, sayangnya waktu tak bisa diputar ulang. Sudah setengah perjalanan yang kerapkali membuat bimbang.

Kesulitan dalam memahami diri sendiri bisa menjadi sebab dari fenomena salah jurusan. Terlebih ketika coba kita tarik kebelakang, sejak sekolah dasar kita dituntut untuk bisa segalanya (kemampuan dipukul rata).

Aku pernah berpikir, andai saja sejak sekolah dasar sudah dibentuk kelas peminatan. Mungkin cerita salah jurusan bisa diminimalkan bahkan bisa menjadikan siswa termotivasi belajar karena merasa nyaman.

Selain itu bisa menolong siswa untuk menyadari dan mengembangkan potensi diri, tentu tak lepas dari bantuan sekolah yang harus memiliki alat untuk memetakan hal tersebut.

Namun kenyataan tak seindah  khayalan, sekolah masih akrab dengan terciptanya kelas anak bodoh dan anak pintar. Semua dipaksa harus bisa mengikuti pelajaran tanpa memperhatikan keunikan setiap orang.

Tak jarang, si bodoh selalu dapat ungkapan tak enak didengar. Hanya karena nilainya tak bisa seperti teman-temannya dalam suatu mata pelajaran. Ejekan dari temanpun juga tak bisa dihindarkan.

Bukan maksud untuk memaklumi kekurangan, namun terlihat lebih indah jika lebih dini fokus mengembangkan kelebihan setiap orang agar memiliki kemapanan dalam meniti karir di masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline