Lihat ke Halaman Asli

Kakek

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap kali kotak musik kayu itu mengalunkan lagunya, Igo akan selalu teringat pada Kakek. Kotak musik itu pemberian Kakek. Bentuknya kecil dan jika ia memainkan lagu, dari dalam kotak itu akan muncul dua panda yang bergoyang lucu.

Liburan lalu, Igo pergi ke rumah Kakek di desa. Setiap pagi Igo selalu menemani Kakek menyusuri kampung. Ada kebiasaan Kakek yang membuat Igo heran. Kakek senang sekali tersenyum dan menyapa setiap orang yang mereka temui dalam perjalanan, tak peduli apakah mereka anak-anak atau orang yang lebih tua. Ia juga senang memuji orang yang disapanya.

“Selamat pagi, Oma Ana. Wah, Oma rajin sekali,” sapa Kakek hangat pada seorang wanita yang sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya.

“Eh, Pak Kosim. Selamat pagi juga, Pak,” balas Oma Ana. “Olah raga, ya? Hati-hati di jalan, ya.”

“Terima kasih, Oma!” balas Kakek. Sementara itu Igo tersenyum pada Oma Ana. Oma Ana adalah sahabat Kakek dan Nenek Igo.

Selanjutnya Kakek terus menebarkan keramahannya di sepanjang jalan. Tukang sayur, penjual roti atau orang yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan, disapanya. Kakek juga tak peduli ketika sapaannya tidak digubris. Seperti Pak Joyo, tetangga Kakek yang sangat tidak bersahabat.

“Selamat pagi, Pak Joyo!” Kakek  menyapa Pak Joyo yang sedang duduk dan membaca koran di teras rumahnya. Pak Joyo mengangkat mukanya sesaat. Saat melihat Kakek, ia menampakkan muka masamnya.

“Ada apa, Pak Kosim?” ada nada tidak senang dalam pertanyaan Pak Joyo.

“Tidak ada apa-apa, Pak. Maaf, sudah mengganggu,” jawab Kakek tenang.

Pak Joyo mendengus sebal. Ia beranjak masuk ke dalam rumah.

“Kenapa sih Kakek bersikap ramah kepada semua orang?” cetus Igo saat mereka berjalan lagi. “Apalagi dengan Pak Joyo. Kalau aku jadi Kakek, aku tidak akan mau menegurnya.”

“Tidak ada salahnya kan bersikap baik?” Kakek malah balik bertanya.

“Kakek memang aneh,” komentar Igo.  Kakek hanya tersenyum.

Tak lama kemudian mereka tiba di rumah. Selanjutnya Igo bergegas mandi. Kemudian ia berpakaian. Hari itu ia akan pergi memancing di tambak Kakek. Kakek memelihara banyak ikan. Ikan-ikan milik Kakek besar-besar. Biasanya, setelah ditangkap, ikan-ikan itu dibakar dan kemudian dinikmati bersama. Sungguh sedap! Igo tak sabar lagi untuk pergi ke sana.

“Aku sudah siap!” Igo menyandangkan ransel di punggungnya. “Kita pergi sekarang, Kek?”

Kakek tersenyum melihat Igo yang sudah rapi. “Baiklah, Anak ganteng!”

Dua minggu berlalu. Liburan Igo pun berakhir. Dengan wajah sedih karena harus meninggalkan Kakek, Igo berpamitan.

“Igo pulang dulu, Kek,” Igo meraih tangan Kakek yang keriput dan kemudian menciumnya.

Kakek menatap Igo. “Sebelum kamu pergi, Kakek ingin memberimu sesuatu.“ Kakek menunjukkan sebuah kotak kecil terbuat dari kayu.

Igo tertegun sejenak saat menerima benda itu dari Kakek. “Apa ini, Kek?” tanyanya kemudian.

“Ini adalah kotak musik, mainan Kakek waktu seumurmu. Sudah lama Kakek menyimpannya. Sekarang, Kakek ingin kamu menyimpannya. Anggaplah ini kenang-kenangan dari Kakek.”

Igo terbelalak kagum melihat kotak musik itu. Apalagi ketika kotak itu memainkan lagu.  Igo tertawa geli melihat sepasang panda di dalamnya menari. Ia tidak menyangka Kakek memiliki barang yang unik. Hebatnya, Kakek mampu merawat kotak musik itu sehingga tetap bertahan sampai beliau setua sekarang.

“Tolong dijaga baik-baik, ya, Go,” pinta Kakek.

“Siap, Kek!” Igo memberi hormat kepada Kakek.

“Jangan lupa belajar yang rajin! Jangan lupa salat lima waktu!” kata Kakek selanjutnya.

Igo nyengir mendengar nasihat Kakeknya. Sepertinya Kakek tahu, kadang-kadang Igo dihinggapi rasa malas untuk kedua hal itu. Igo pun mengangguk.

“Dan… jangan lupakan apa yang Kakek katakan di tambak, ya!” Kakek tersenyum.

Wajah Igo sedikit berubah. Ia masih ingat permintaan Kakek saat itu. Sejujurnya Igo merasa permintaan itu terlalu aneh untuk dituruti. Tetapi Igo tidak ingin membantah. Ia memilih tersenyum dan berjanji untuk melakukannya.

Tiga bulan berlalu sejak Igo bertemu Kakek. Siang itu, Igo baru pulang sekolah. Ketika Igo memasuki ruang tamu, ia mendapati pemandangan yang tidak biasa. Beberapa tas besar berada di lantai. Igo tertegun. Apalagi Bunda dan Ayahnya berpakaian rapi. Wajah Ayah nampak muram, sedangkan Bunda terlihat seperti habis menangis.

“Kita ke rumah Kakek sekarang, Go,” kata Ayah memecah kebekuan.

“Kenapa, Yah? Ada apa dengan Kakek?” tanya Igo bingung.

Ayah terdiam sejenak. Sementara itu Bunda mulai terisak lagi.  “Kakek meninggal tadi pagi, Nak,” kata Ayah lirih.

Igo terperangah sejenak. Tubuhnya mendadak lemas. Sejurus kemudian tangisnya meledak. Ia tidak percaya Kakek telah pergi. Kakek yang baik dan ramah kepada semua orang. Mengapa Tuhan memanggilnya begitu cepat?

Keesokan harinya Kakek dimakamkan. Igo berdiri terpaku di sisi pusara Kakek ketika satu per satu pelayat mulai pergi. Orang tua Igo masih berjongkok dan memanjatkan doa. Igo teringat kata-kata Kakek ketika ia dan Kakek berada di tambak.

“Apa sih, susahnya bersikap ramah? Sekali kamu melakukannya, orang akan terus mengingatmu, meskipun kamu mungkin tidak bersama mereka lagi.  Bandingkan jika kita selalu memasang wajah masam dan berkata ketus. Pasti tidak akan ada orang yang mau menjadi temanmu. Ya, kan?”

“Tapi aku tidak akan mau bersikap ramah kepada orang seperti Pak Joyo!” bantah Igo. “Orangnya menjengkelkan!”

Kakek merangkul bahu Igo. “Suatu saat dia pasti akan berubah sikap. Percaya, deh!” Setelah itu Kakek tersenyum. Entah mengapa, saat itu Igo merasa itulah senyuman Kakek yang paling manis yang pernah dilihatnya.

Igo  tersentak ketika Bunda menyentuh bahunya. Rupanya Bunda dan Ayah sudah selesai berdoa. “Kita pulang, Sayang,” ujar Bunda.

Malam ini, hujan turun rintik di luar rumah. Sembari duduk di kursi meja belajarnya, Igo memandangi kotak musik di hadapannya. Benda itu memainkan lagu klasik yang lembut. Dua boneka panda mungil menari berputar mengikuti nada.  Igo memejamkan matanya. Ia rindu pada Kakek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline