Diskriminasi gender dalam dunia Pendidikan
Salah satu problem dan tuntutan dalam dunia pendidikan pada saat ini adalah masalah keadilan dan kesetaraan gender. Pendidikan yang seharusnya menjadi ranah belajar bagi laki-laki dan perempuan, justru lebih digandrungui ole laki-laki daripada perempuan. Kondisi ini bukan tanpa alasan, tetapi dilatarbelakangi oleh pandangan patriarki dalam masyarakat, yaitu pandangan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada perempuan. Pada proses pendidikan di Indonesia Diskriminasi gender masih sering terjadi. Pada umumnya masyarakat masih menganut paham dimana mereka menganggap perempuan merupakan kelompok kelas dua, dan posisinya dibawah laki-laki.
Wacana gender yang dipelopori oleh Feminis telah mempengaruhi Negara Dunia termasuk Indonesia, yang dapat menyingkap berbagai pengalaman hidup manusia yang menyimpan misteri.
Gender dan pendidikan menjelaskan arti/makna wacana gender dalam pendidikan dan fenomena sosial gender dalam proses pembelajaran, dimana terjadi interaksi sosial anatara guru dengan siswa juga antar siswa. Kemudiann materi Identitas Gender dan Identitas Peran Gender- maskulinitas dan feminimitas, membahas peran gender seseorang yang mempengaruhi sikap dan perilaku siswa laki-laki dan perempuan di sekolah yang dapat mempengaruhi optimalisasi pencpaian pendidikan siswa.
Kemudian Sosialisasi Gender dalam proses pembelajaran, membahas terjadinya sosialisasi nilai-nilai gender didalam proses pembelajaran baik oleh siswa maupun guru melalui proses internalisasi, obyektivasi dan eksternalisasi nilai-nilai gender. Akibat sosialisasi nilai-nilai gender ini meningkatkan identitas peran gender siswa, yang selanjutnya menyebabkan sikap dan perilaku siswa di dalam proses pembelajaran dalam “tekanan” pengaruh nilai-nilai gender, dan terjadilah diskriminasi gender dalam pendidikan.
Gender adalah fenomena Sosiologis sekaligus psikologis (Burr, 1998). Didalam pendidikan fenomena problem sosial gender dapat difahami melalui ranah mikro, yaitu proses pembelajaran (learning process) yang membahas mengenai persepsi actor-aktor pendidikan termasuk siswa, aksi dan interaksi antar actor pendidikan, interaksi anatara guru dengan iswa di kelas dan lain-lain.
Proses pendidikan hanya akan dapat dipahami dengan cara menelusuri dunia subyektif, dunia makna, dan self-concept individu-individu yang berada di dunia pendidikan. (Maliki, 2010).
Hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan saat ini mungkin sudah mulai dicapai dengan tingginya partisipasi pendidikan oleh perempuan. Namun, banyak yang masih perlu dibenahi terkait hak dalam proses pendidikan. Hal ini menjadi indikasi bahwa di dalam proses pendidikan, stereotip gender memunculkan bias gender yang beroperasi melalui standar normatif yang mendorong timbulnya penolakan dan sanksi sosial (Heilman, 2012).
Bias gender terjadi melalui proses dan sistem pembelajaran di sekolah ataupun dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti mencuci, menyaou, dan memasak maka akan tertanam pada diri anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan yang lumrah bagi perempuan.
Lebih jauh, dalam dunia pembelajaran di sekolah seperti buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh lakilaki.
Banyak perempuan yang masih berusia remaja yang seharusnya berangkat sekolah dan belajar justru terpaksa harus bekerja, baik itu sebagai pelayan toko maupun buruh pabrik. Dengan alasan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, memaksa orang tua untuk menyuruh anak prempuannya bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.