Lihat ke Halaman Asli

Ritual dan Kehidupan Petani Tengger

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Probolinggo, 21 Mei 2011. Kegelapan malam, dingin dan hening menyelimuti desa ngadirejo kecamatan Sukapura. Perjalanan Bus dari terminal kecamatan sampai Desa Ngadirejo membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dan ditempuh dengan menggunakan mini bus yang dikelola oleh warga di kecamatan Sukapura dan sekitarnya. Jalan yang berkelok-kelok disertai dengan tanjakan yang terjal membuat bus harus ekstra hati-hati ketika melewati jalan yang tidak ada lampu penerangnya. Sesampai di Desa Ngadirejo suasana begitu mencekam, kabut yang menyelimuti desa disertai hujan embun membuat para wisatawan harus menggunakan jaket tebal, shall, ataupun penutup kepala. Sesampai di Guest House para wisatawan akan ditawari beberapa aksessoris penghangat tubuh mulai dari kaus tangan, shall, dan penutup kepala oleh pedagang keliling. Pada waktu itu listrik sedang padam dikarenakan aliran listrik yang terganggu akibat adanya abu vulkanik yang menyelimuti Desa Ngadirejo.

Masyarkat Tengger mayoritas berada di Desa Ngadirejo. Mereka masih menjaga tradisi dari leluhur mereka. Setelah adanya kewajiban pencantuman agama dalam KTP bagi seluruh masyarakat Indonesia, masyarakat suku Tengger menyebut diri mereka agamanya Hindu. Menurut kepala Dusun Ngadirejo Bapak Sunyoto Agama Hindu yang ada di Bali dan di tempat lain berasal dari Suku Tengger. Akan tetapi dalam pelaksanaannya mereka tidak mengenal adanya system kasta seperti yang ada di Bali dan di India. Beberapa ritual yang masih dilestarikan antara lain perayaan Kasada (tahunan) dan upcara tiap jumat manis untuk memohon kesuburan dan keselamatan tanaman pertanian di sekitar gunung Bromo.

Aktivitas warga sudah dimulai sejak pukul setengah empat pagi. Mereka mulai menggerakkan mobil Jeep, sepeda motor, serta kuda untuk melayani wistawan yang ingin melihat pemandangan gunung bromo dan sun rise di Penanjakan. Bukit Penanjakan bisa ditempuh selama satu jam dengan jalan kaki, dan hanya 15 menit dengan kendaraan bermotor. Bukit Penanjakan menjadi tujuan utama wisatawan selain Gunung Bromo. Dari sini wisatawan baik lokal maupun manca kebanyakan mengambil gambar dan menikmati suasana pegunungan. Pembagian wilayah garapan terlihat anatara pengguna mobil jeep, ojek dan kuda. Mobil Jeep akan mengantar dari guest house sampai kaki bukit dan setelah itu akan dilanjutkan dengan menggunakan kuda. Ongkos naik mobil Jeep cukup dengan Rp. 275. 000 sudah termasuk pulang pergi ke penanjakan dan pura yang ada di kaki gunung Bromo. Sementara untuk kuda kita bisa mengeluarkan ongkos Rp. 20.000 – Rp. 40.000 tergantung tawar menawar wisatawan dan pemilik kuda. Setelah puas melihat pemandangan, para wisatawan akan diajak melihat lautan pasir dan pura yang ada di kaki Gunung Bromo. Pada waktu itu kami tidak diijinkan naik ke Bromo karena masih mengeluarkan abu vulkanik.

Kehidupan masyarakat Tengger memang tidak terlepas dari nuansa keagamaan dan aktifitas masyarakat sebagai petani. Pada waktu matahari belum muncul, mereka melayani para wisatawan yang akan menikmati indahnya pemandangan bromo setelah itu mereka akan bergegas beralih profesi menjadi petani kentang dan sayuran. Menurut bapak A, masyarakat jarang yang pergi ke tempat ibadah. Masyarakat pergi ke tempat ibadah hanya pada hari-hari tertentu. Tiap hari tempat ibadah hanya ramai dihadiri oleh anak-anak yang belajar agama. Kesibukan sebagai petani memang menyita banyak waktu. Apalagi pasca hujan abu dari Gunung Bromo. Mereka harus bangkit kembali untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Tentunya hal ini sangat sulit bagi mereka karena keterbatasan sarana dan prasarana untuk mengolah lahan mereka. Banyak petani yang mengeluh akan kondisi ini. Namun, dikarenakan penghasilan utama petani ditengger berasal dari hasil panen kentang dan sayuran lainnya, mereka terus berusaha sekuat tenaga tanpa mengenal rasa putus asa.

Yang membuat petani di daerah bromo berbeda dengan petani lainnya adalah ikatan batin dengan gunung bromo masih sangat kuat dengan berbagai ritual yang mereka lakukan. Setiap selapan (40 hari) sekali mereka akan melakukan ritual dengan menyediakan sesajen sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan mohon agar lahan pertaniannya subur dan hasil pertaniannya meningkat. Dalam prakteknya para petani tetap menggunakan pupuk anorganik dan pestisida yang notabenenya bertentangan dengan konsep ritual yang mereka lakukan secara rutin. Hal inilah yang saya lihat ketika berada disana dan berbincang-bicang dengan para petani. Suatu pengalaman yang baru bagi saya mengingat jarang petani yang mau berbagi pengalaman dengan orang lain.

Menurut para petani penggunaan pupuk kimia dan pestisida mereka gunakan supaya hasil yang didapat tinggi meskipun mereka tahu bahwa penggunaannya tidak aman bagi lingkungan. Pergeseran makna ritual terjadi dikarenakan tuntutan ekonomi. Para petani berpikiran bahwa untuk memperoleh hasil yang maksimal maka dibutuhkan cara yang efisien dan efektif dan salah satu jalan keluar adalah menggunakan sarana dan prasarana yang merusak lingkungan sehingga dikhawatirkan terjadi degradasi lahan.

Dari paparan diatas dapat dikatakan antara manusia dan alam sudah tidak lagi menyatu. Masing-masing berjalan dengan sendirinya. Petani sadar dengan apa yang dilakukannya terhadap alam. Apa yang dikatakan oleh Geertz sebagai involusi pertanian agaknya telah terpatahkan dengan dengan adanya fenomena ini. Geertz menggambarkan perubahan system pertanian yang terpengaruh oleh system koloni yang menyebabkan petani menjadi pasif dan bersifat subsisten. Pada waktu itu, petani memang pasif karena ditekan untuk terus meningkatkan hasil produksi walaupun harga dipasaran rendah, akan tetapi mereka masih mempertahankan tradisi mereka dimana keselarasan dan keterpaduan dengan alam masih terjaga.

Kondisi yang berbeda terjadi pada waktu sekarang setelah adanya kebijakan revolusi hijau yang memperkenalkan adanya teknologi baru yang merusak lingkungan. Hal ini menyebabkan ritual yang dilaksanakan mejadi kurang lengkap karena dalam prakteknya petani tetap menggunakan teknologi baru yang merusak lingkungan. Sehingga faktor utama yang menyebabkan semakin pasifnya petani adalah hilangnya keterpaduan dengan alam dan untuk memenuhi kebutuhan akan hasil pertanian petani akan beradaptasi dengan cara yang instan yaitu dengan mengadopsi teknologi baru.

Pengalaman yang bisa diambil dari studi lapangan ini adalah bahwa ternyata kondisi ritual dan tradisi dulu dan sekarang berbeda. Banyak faktor yang mempengaruhinya seiring berjalannya waktu. Nilai positif yang bisa diambil adalah masih terjaganya tradisi, ritual dan norma yang ada di sekitar Bromo. Nilai-nilai positif ini akan tetap menjaga sinergisitas baik antar sesama warga maupunantara masyarakat dengan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline