Lihat ke Halaman Asli

Jaminan Kesehatan Nasional: Pemalakan Berkedok Jaminan Kesehatan Part.1

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat 1 Januari pemerintah Indonesia mulai menerapkan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebenarnya Jaminan Kesehatan Nasional itu seperti apa? Dinamakan jaminan, sepertinya rasanya melegakan . Benarkah akan menjamin kesehatan masyarakat?

JKN adalah suatu program yang merupakan amanah UU Kesehatan. Sebelum running per 1 januari 2014 ini, sebenarnya sudah ada UU yang mengawalinya yaitu UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi dasar JKN dan UU BPJS (badan yang mengelola adanya JKN). Keduanya adalah turunan dari UU yang terkait kesehatan. UU Kesehatan yang dibuat oleh Indonesia bukanlah UU yang berasal dari Kementerian Kesehatan sendiri, tetapi UU yang merupakan amanat dari ASEAN secara regional. Komunitas ASEAN juga tidak membuat kesepakatan antar anggota ASEAN itu sendiri, tetapi sebelumnya sudah ada secara internasional badan kesehatan PBB (WHO) yang mendorong kebijakan itu. Lebih luas lagi, WHO juga tidak bertindak atas dasar sektoral saja, tetapi sebenarnya amanat internasional dari World Trade Organization (WTO) yang mana kesehatan itu adalah salah satu faktor yang harus diliberalisasikan. Jadi, ternyata JKN yang running sekarang adalah bukan yang tiba-tiba ada, tapi sudah dirancang jauh-jauh hari. WTO sudah memulainya sejak 1994. Jadi, JKN ini bukan atas dasar inisiatif orang per orang, tapi amanah internasional yang disebut Universal Health Coverage (UHC). Program ini untuk meng-cover kesehatan secara nasional dan sudah running di beberapa negara. Jadi, ini bukan program kementerian kesehatan atau pemerintah Indonesia. Program ini juga tidak berdasarkan fakta banyaknya pasien yang dibuang maupun pasien yang ditolak, tapi merupakan program yang sudah dirancang jauh-jauh hari oleh lembaga internasional yang mau tidak mau harus dijalankan oleh anggota-anggotanya yang bernaung di bawahnya.

Fakta di lapangan, ketika kita ingin membahas isu ini kepada lembaga-lembaga pemerintah daerah maupun nasional, orang pemerintahan mengatakan bahwa mereka hanya sekedar pelaksana teknis saja. Kemudian mereka merekomendasikan untuk berdiskusi dengan instansi lain, tapi instansi yang direkomendasikan itu juga mengatakan hal yang sama bahwa mereka hanya sekedar pelaksana teknis saja. Pada akhirnya, kita bisa memahami bahwa Indonesia memang negara pelaksana yang mau gak mau harus menjalankan universal coverege yang kemudian dibahasakan menjadi jaminan kesehatan nasional yang sejatinya adalah amanah internasional untuk meliberalisasi dan mengkomersialisasi kesehatan sebagai barang dagangan, bukan lagi suatu komoditi sosial. Ternyata WTO sudah men-drive komiditi sosial ini akan dikomersilkan dan sudah berjalan selama 20 tahun. Bagi Indonesia program ini harus dilakukan karena sudah menjadi traktat internasional, entah siapa pun presidennya. Jadi, nyawa dari JKN ini adalah liberalisasi kesehatan.

Kapitalisme punya banyak wajah, mereka melakukan tambal sulam agar masyarakat tidak protes bahwa hak mereka diambil oleh pemerintah dimana pemerintah tidak melakukan kewajibannya. Bisa jadi, karena JKN running tahun 2014 maka yang baik-baik dari JKN akan di blow up, misalnya operasi dengan biaya 50 juta menjadi lebih ringan atau ditiadakan karena setiap bulan bayar JKN 50 rb. Tambal sulam itu akan senantiasa dilakukan oleh kapitalisme dengan pem-blow up an dan pencitraan. Peserta JKN tahun 2014 ini adalah para pegawai negeri dan peserta jamkesnas. Sehingga program-program yang dulunya ada tinggal running saja.

Ada 4 hal yang perlu kita kritisi terkait isu JKN. Pertama, konsep JKN adalah rusak dan menyesatkan. Seperti halnya kapitalisasi di bidang pendidikan, kalau kita ga sadar betul, kita akan merasa kalau pemerintah sangat sangat peduli sama rakyatnya. Misal, 20% mahasiswa diberi beasiswa bidik misi, kesempatan melanjutkan S2 dengan beasiswa BPPDN. Dengan begitu rakyat akan bersimpati pada pemerintah. Kita harus kembali pada pemikran dasar bahwa pendidikan adalah hak bagi warga negara. Pemerintah berkewajiban memenuhi hak rakyat tersebut bahkan menggratiskan. Tidak perlu dikompetisikan 20% untuk orang-orang pintar dan miskin saja. Jika kita memahami, banyak sekali tambang-tambang milik rakyat Indonesia yang ternyata diserahkan kepada asing. Jangan sampai pada kasus JKN yang nyawanya adalah kapitalisasi kesehatan, kita merasa pemerintah sudah sangat baik luar biasa ketika kesehatan 1/3 rakyat dijamin oleh pemerintah. Seharusnya alur berfikir kita adalah kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya bukan betanggung jawab pada 1/3 masyarakat saja.

Kita harus menyadari bahwa yang masyarakat hadapi bukan ide orang per orang, tapi internasional. Sehingga siapa pun presiden nya, program-program internasional ini akan tetap berjalan. Ingat bahwa JKN ini sudah dimulai 1994, 20 tahun yang lalu. Indonesia sudah berganti pemimpin berkali-kali, tapi kalau internasional sudah ngomong A, mau ga mau program harus running karena kuatnya cengkeraman kapitalisme. Siapapun presiden nya, siapapun gubernur nya, ga ngaruh karena kesepakatan internasional itu serasa sudah harga mati. Jadi, bukan NKRI yang harga mati, tapi kesepakatan internasional yang harga mati. Kita sudah ga bisa nolak kalau sudah menyepakati kesepakatan internasional, dalam hal apapun termasuk kesehatan. Setelah dicengkeram dengan kesepakatan internasional lewat lembaga-lembaga internasional tadi, UU secara legalitas kemudian dibuat sampai ketataran negara. Jadi, kalau sudah sampai ketataran negara, UU pasti akan ada.

Untuk itu, memang masyarakat perlu suatu sistem yang sifatnya internasional universal memang sangat relevan dan harus diperjuangkan oleh seluruh komponen masyarakat. Karena yang kita hadapi bukan orang per orang yang tidak amanah atau negara per negara, tapi cengkeraman internasional. Nah, yang bisa menandingi lembaga-lembaga internasional harusnya sistem internasional yaitu negara internasional yang sifatnya universal.

Jadi, nyawa JKN adalah komersialisasi kesehatan. Kita bisa melihat WTO dalam The General Agreements in Trade on Services (GATS) nya sudah menyatakan bahwa layanan kesehatan adalah layanan yang diperdagangkan. Jika ada bau-bau sosial nya itu hanya lip service saja, pencitraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline